(Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan saya bagian pertama yang berjudul “Bahasa Bulango Nasibmu Kini”. Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang gejala kepunahan Bahasa Bulango dari sisi sejarah.)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Bahasa Bulango adalah bahasa dalam rumpun Austronesia. Data menunjukkan bahwa kebanyakan bahasa-bahasa Austronesia tidak mempunyai sejarah panjang dalam bentuk tertulis, sehingga upaya untuk merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal, yaitu sampai pada Proto-Austronesia, menjadi lebih sulit (Ethnologue, 2020).
Pertanyaan selanjutnya adalah, masih adakah penutur Bahasa Bulango? Pada tahun 2016, Rosyid A. Adzhar, seorang wartawan senior sekaligus pemerhati budaya daerah Gorontalo mengajukan pertanyaan yang sama dalam sebuah tulisan yang diunggah di media Kompas. Azhar (2016) mengklaim bahwa, penutur Bahasa Bulango sudah sangat sulit ditemukan di Provinsi Gorontalo. Bahasa Bolango termasuk salah satu bahasa di Sulawesi yang terancam mengalami kepunahan (Andrean W. Finaka, 2019; hulonthalo.id, 2020). Data menunjukkan bahwa penutur bahasa ini diperkirakan sekitar 23.000 jiwa menurut data tahun 1986. Namun dewasa ini, jumlah penuturnya mulai berkurang hingga dibawah dari sepuluh ribu penutur (Ethnologue, 2020)
Belakangan sebuah hasil penelitian mengungkapkan pula bahwa masyarakat Tapa sekarang sudah jarang menggunakan Bahasa Gorontalo sebagaimana masyarakat Gorontalo umumnya (Rusnan, 2022). Mengapa ini terjadi? Padahal, Kerajaan Bulango pernah menjadi kerajaan besar di jazirah Gorontalo dimana para pemimpin (olongia) kerajaan ini adalah orang yang berpengaruh luas, terutama dalam penguasaan agama Islam dan kesenian. Di Tapa banyak ditemukan penari tradisi, pelaku sastra lisan, hingga pemusik tradisional.
Bukankah Tapa dikenal sebagai gudangnya kesenian Gorontalo? Ditambah lagi, dalam kegiatan kebudayaan, para pemangku dan dewan adat masih memasukkan Bulango sebagai unsur budaya di Gorontalo, termasuk hadirnya tokoh-tokoh budayawannya dalam Dewan Adat. Namun jika ditelisik lebih dalam di Tapa dan desa-desa di sekitarnya, nyaris tidak ditemukan penutur Bahasa Bulango. Tidak seperti keberadaan Bahasa Suwawa yang masih dijumpai di beberapa desa di Kecamatan Suwawa, Suwawa Selatan, Suwawa Timur, Bone Pantai, dan Bone Raya.
Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango, adalah salah satu tokoh penting yang turut prihatin dengan eksistensi Bahasa Bulango yang semakin hilang, nyaris habis (Azhar, 2016; Punonoo, 2024). Menurut Hamim, ia dan keluarganya masih berkomunikasi dengan bahasa ini tapi hanya dengan kosakata yang terbatas. Kendatipun demikian ia masih menggunakan bahasa ini untuk bercakap-cakap dengan keluarga jauh di Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Menurutnya ,penutur Bahasa Bulango lebih banyak di Bolaang Uki daripada di Tapa sendiri. Penutur Bahasa Bulango disana setiap hari berkomunikasi dengan bahasa ini. Mengapa demikian?
Berkurangnya jumlah penutur Bahasa Bulango diilustrasikan secara historis oleh Azhar (2016) sebagai berikut:
“Makin meredupnya bahasa Bulango di Gorontalo ini dapat dijelaskan melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasanuddin, Rusli Manorek, Pitres Sombowadile dan Fendy Parengkuan dari Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado.
Masuknya Bangsa Bulango ke Gorontalo merupakan migrasi besar keempat yang mereka lakukan. Pada masa ini, Bangsa Bulango berada dalam pimpinan Raja Daopeyago, Pasuma, Thitingio, Mogolaingo II dan Sangian Datu. Mereka masuk ke wilayah kerajaan Suwawa, Limboto, Gorontalo dan secara khusus ke Tapa. BPNB mengungkapkan, pada 1673, olongia Gorontalo Eyato meminta Raja Bulango Mogulaingo dan sukunya untuk menetap di Gorontalo.
Mereka membangun pemukiman di Tapa dan berkembang menjadi kerajaan. Saat pengaruh VOC makin kuat, raja-raja dalam persekutuan lima kerajaan (Limo Lo Pohalaa), termasuk Bulango, terpaksa mengakui kekuasaannya dalam kontrak 5 September 1730. VOC mewajibkan penyerahan emas dan memonopoli komoditas ini. “Ini diperkuat oleh Gubernur Maluku Garardus van Blokland yang memanggil Raja Gorontalo dan Limboto ke Ternate pada awal Maret 1746. VOC juga membangun benteng di Gorontalo pada 19 Maret tahun itu,” jelas Rusli Manorek. Tekanan politik dan fisik ini membuat Raja Bulango merasa dilecehkan.
Pemerintah Hindia Belanda sudah mencampuri urusan politik yang mengikat Raja Bulango menanam kopi, menyerahkan emas, dan monopoli perdagangan di wilayah kerajaan. “Perjanjian 7 Pebruari 1829 memaksa Raja Bolango mengakui Belanda sebagai tuannya. Saat itu terjadi masalah besar karena Belanda memaksa penduduk menyerahkan emas secara langsung,” jelas Rusli. Berangkat dari konflik inilah, Raja Bolango dan pembesar kerajaan lainnya menyepakati bermigrasi ke daerah Bolang Bangka dekat muara Sungai Mongondow, wilayah Bolaang Mongondow. Pada 1862, para keluarga kerajaan akhirnya bermigrasi menuju Bolang Uki untuk bergabung dengan kerabatnya. Namun, beberapa penduduk Bulango masih ada yang menetap di Tapa dan sekitarnya. Saat itu, kerajaan Bulango di Gorontalo sudah tidak ada.
Hilangnya posisi Bulango dalam Limo lo Pohalaa ini kemudian digantikan dengan kerajaan Boalemo, yang sebelumnya di bawah kekuasaan Limboto. Eksodus warga Bulango terjadi dalam beberapa kelompok dari Tapa ke Molibagu dan dilakukan secara bergelombang dengan rute perjalanan yang berbeda. Kelompok pertama bermigrasi dari Tapa dengan mengambil rute perjalanan lewat barat menuju Imana, Manggupu, Lombagin (Bangka), Bolaang Uki, dan selanjutnya menuju daerah Molibagu. Kelompok yang telah menetap di Lombangin melanjutkan migrasinya ke Kotamobagu, Pusian, Doloduo, dan Molibagu. “Setelah tiga dekade kemudian diikuti kelompok kedua dari Tapa yang langsung menuju daerah Molibagu dengan melalui perjalanan jalur timur,” jelas Rusli.
Pada 1903, setelah Raja Hasan van Gobel memerintah Kerajaan di Walugo, terjadi kesepakatan dengan Raja Bolaang Mongondow tentang pertukaran wilayah. Raja Hasan van Gobel menyetujui untuk memindahkan kerajaannya ke Molibagu. Perlu waktu 3 tahun mengajak orang Bolango yang terpencar di wilayah Bolaang Mongondow untuk pindah ke Molibagu. Pada 1906, Bangsa Bulango mendirikan Kerajaan Bolaang Uki yang berkedudukan di Molibagu. “Tapa yang sebelumnya sebagai pusat kerajaan mengalami penurunan tingkat kehidupan penduduk dan jumlah penduduk. Tapa mengalami pergeseran menjadi distrik yang dikepalai seorang marsaoleh di bawah Onderafdeeling Gorontalo,” papar Rusli. Sejarah panjang migrasi Bangsa Bulango ini menjawab hilangnya penutur Bahasa Bulango di Gorontalo.”
Paparan sejarah diatas menggambarkan tentang eskalasi tekanan politik penjajah Belanda, migrasi Raja Bulango dan pembesar kerajaan beserta keluarganya serta pemindahan kerajaan ke wilayah lain berpengaruh besar pada kebertahanan budaya masyarakat Tapa dan sekitarnya. Raja ke-13 Bulango, Sultan Abdul Iskandar Hamid Van Gobel tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Raja dan sebagian besar pengikutnya merasa jijik pada Belanda yang tengah membawa babi-babi (hewan yang diharamkan bagi kaum muslimin) sehingga terjadilah konfrontasi dalam peristiwa jembatan Polangguwa pada tahun 1856.
Polangguwa berasal dari kata panggu (jijik) atau lo panggu (merasa jijik). Peristiwa tersebut adalah momentum yang sangat bersejarah dalam catatan perjuangan bangsa Indonesia menuju merdeka dimana kerajaan Bulango telah lebih dahulu tidak ingin dijajah oleh Belanda jauh sebelum Gorontalo merdeka pada tahun 1942 dan sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Akibat dari peristiwa tersebut, raja dan pengikutnya hijrah ke wilayah pantai Selatan di pinggiran daerah Mongondow membangun komunitas baru etnis Bulango di tempat itu yang kemudian dikenal daerah Molibagu hingga kini. Molibagu bermakna moli lopobohu (kembali memperbaharui). Perpindahan Raja Bulango diatas membawa dampak yang signifikan pada eksistensi Bahasa Bulango yang makin menghilang saat ini.
Dewasa ini Bahasa Bulango semakin tercerabut dari masyarakat Bulango di Gorontalo yang ditandai dengan semakin kecilnya persentase jumlah penutur bahasa tersebut. Bahasa Bulango hanya dapat didengar pada waktu-waktu tertentu saja seperti pada saat serangkaian penyelenggaraan adat nika (pernikahan), motolobalango (pelamaran), dutu (antar harta), dan penyelenggaraan acara adat pada kematian orang penting atau tokoh masyarakat.
References
Andrean W. Finaka. (2019). Bahasa Daerah yang Alami Kemunduran. Retrieved from Indonesiabaik.org: https://indonesiabaik.id/infografis/bahasa-daerah-yang-alami-kemunduran
Azhar, R. A. (2016). Masih Adakah Penutur Bahasa Bulango di Provinsi Gorontalo? (regional.kompas.com, Producer) Retrieved Juli 23, 2024, from https://regional.kompas.com/read/2016/10/28/15301191/masih.adakah.penutur.bahasa.bulango.di.provinsi.gorontalo.?page=all
Ethnologue. (2020, Juli 30). Bolango. Retrieved from Ethnologue.com: https://www.ethnologue.com/language/bld/
hulonthalo.id. (2020, Februari 18). Usman Hulopi: Orang Gorontalo Jangan Malu Berbahasa Daerah. Retrieved from hulonthalo.id: https://www.hulondalo.id/nasional/pr-9647172711/usman-hulopi-orang-gorontalo-jangan-malu-berbahasa-daerah
Punonoo, Y. M. (2024, Mei 28). Masih Adakah Penutur Bahasa Bulango di Provinsi Gorontalo? (B. Akantu, Editor, & rri.co.id, Producer) Retrieved Juli 23, 2024, from https://www.rri.co.id/iptek/718268/masih-adakah-penutur-bahasa-bulango-di-provinsi-gorontalo
Rusnan. (2022, Juni). Peran Pemerintah Daerah Bone Bolango dalam Melestarikan Bahasa Bolango. Dikmas: Jurnal Pendidikan Masyarakat dan Pengabdian, 02(2), 461-482. doi:http://dx.doi.org/10.37905/dikmas.2.2.461-482.2022