Bahasa Bulango Nasibmu kini (Bagian 5), oleh: Dr. Dewi Dama, S.Pd., M.Ed

(Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan saya bagian keempat yang membahas jejak digital pelestarian Bahasa Bulango tentang tokoh penting daerah yang membuat kebijakan, tentang kamus Bahasa Bulango, dan peran wakil rakyat yang menyuarakan himbauan pelestarian bahasa. Bagian kelima membahas konteks bahasa daerah dan keadaan budaya Indonesia di tengan eskalasi global dan internasionalisasi. Dengan begitu, solusi dapat ditempuh dengan pendokumentasian dan dukungan atas revitalisasi bahasa daerah.)

Pada akhir tulisan sebelumnya (bagian 4), penulis menanyakan langkah strategis dari program pelestarian Bahasa Bulango. Sebagai warga masyarakat Tapa Kabupaten Bone Bolango yang tinggal di Provinsi Gorontalo, penulis menyadari bahwa peran masyarakat untuk melakukan kontrol sosial harus selalu ada. Sebuah artikel mengungkapkan bahwa pemerintah daerah (Bone Bolango) telah berusaha menjaga dan melestarikan Bahasa Bulango dengan cara membuat Perda, menerbitkan kamus Bahasa Bulango, sosialisasi dan seminar.

Namun demikian, hasil penelitian itu menunjukkan kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Kendala yang pertama dan utama adalah berkurangnya penutur Bahasa Bulango. Selanjutnya berbagai masalah globalisasi, pola pikir masyarakat, migrasi, perkawinan antar etnik serta kurangnya koordinasi antar pemerintah provinsi Gorontalo dengan pemerintah kabupaten Bone Bolango.” (Rusnan, 2022, p. 461).

Terlebih lagi sudah ada indikasi adanya kepunahan bahasa daerah di Indonesia. Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi masalah pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, Unesco, memperkirakan bahwa separuh dari enam ribu bahasa yang ada di dunia saat ini berada dalam ancaman kepunahan (Rusnan, 2022). Mencermati catatan peringatan dari UNESCO (Rep Pun, 2024), maka kita semua sebagai warga masyarakat Gorontalo, khususnya masyarakat Bulango adalah pihak yang paling pertama dan berkepentingan dalam mengidentifikasi, menyusun riset dan program pengabdian, serta membumikan upaya pelestarian Bahasa Bulango di wilayah Indonesia Timur.

Menurut hemat penulis, sebagai solusi awalnya adalah memahami konteks bahasa daerah secara komprehensif. Ada baiknya kita memahami keadaan budaya Indonesia. Setelah itu kita dapat merencanakan /merancang kebijakan yang akan selalu relevan dan layak untuk direalisasikan. Penulis mengajak pembaca untuk merenungi satu per satu poin yang dicatat oleh Wurm (1998) sebagai berikut:

“Education everywhere in Indonesia is essentially in Indonesian, though in some of the large languages, such as Javanese, Madurese, Sundanese, Batak on Sumatra, and Gorontalo on Sulawesi, some unofficial use of them in education occurs. In some of them, literacy is widespread. Such languages still have high prestige among speakers of small languages, but are gradually losing it to Indonesian, especially amongst members of the young generation.” (Wurm, 1998, p. 442).

Diterjemahkan secara literal:

Pendidikan di mana pun di Indonesia pada dasarnya menggunakan Bahasa Indonesia, meskipun di beberapa tempat ada bahasa-bahasa besar, seperti Bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak di Sumatra, dan Gorontalo di Sulawesi, ada beberapa digunakan dalam bidang pendidikan secara tidak resmi. Di beberapa wilayah itu, literasi tersebar luas. Bahasa-bahasa seperti itu masih dipakai di kalangan penuturnya, namun perlahan-lahan mulai hilang seiring dengan penggunaan Bahasa Indonesia, terutama di kalangan generasi muda.)

“There are relatively few extinct languages in Indonesia, though their number is likely to increase very markedly in the foreseeable future in view of the relentless pressure of Indonesian. The areas within Indonesia which contain extinct languages will be mentioned individually below.” (Wurm, 1998, p. 450)

Diterjemahkan secara literal:

Bahasa yang punah di Indonesia relatif sedikit, meskipun jumlahnya kemungkinan besar akan meningkat secara signifikan di masa mendatang mengingat tekanan yang tiada henti dari Bahasa Indonesia.

The languages of Sulawesi are Western Malayo-Polynesian. One language is definitely extinct, and another, Dampal, possibly extinct by now, under pressure from large neighbouring languages (Wurm, 1998, p. 451).

Diterjemahkan secara literal:

Bahasa Sulawesi adalah Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Satu bahasa pastinya punah, dan satunya lagi, Dampal, mungkin sudah punah sekarang, di bawah tekanan besar bahasa-bahasa lain.

In the past, Dutch linguists, including a number of missionary linguists, produced a large number of studies, grammars, dictionaries and other materials on individual languages of Indonesia. This tradition is still continuing for some parts of Indonesia. However, Indonesian research institutions and universities have taken over most of this task, and have been publishing numerous contributions on individual languages. Linguists based in Australia, Hawaii and mainland USA, Germany and elsewhere have worked in, and published on, languages of Maluku, Timor, the Aru Islands, Sulawesi, Borneo, Sumatra and other parts of Indonesia, with this work still continuing. Irian Jaya and the Halmahera Islands constitute a special area which is dealt with below in the following section. (Wurm, 1998, p. 457)

Diterjemahkan secara literal:

Di masa lalu, para ahli bahasa Belanda, termasuk sejumlah ahli bahasa misionaris, menghasilkan sejumlah besar kajian, tata bahasa, kamus, dan materi lain tentang masing-masing bahasa di Indonesia. Tradisi ini masih berlanjut di beberapa wilayah Indonesia. Namun, lembaga penelitian dan universitas di Indonesia telah mengambil alih sebagian besar tugas ini, dan telah menerbitkan banyak kontribusi mengenai bahasa-bahasa tertentu. Para ahli bahasa yang berbasis di Australia, Hawaii dan Amerika daratan, Jerman dan tempat lain telah bekerja dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa-bahasa di Maluku, Timor, Kepulauan Aru, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dan wilayah lain di Indonesia, dan pekerjaan ini masih berlanjut.

Berdasarkan poin-poin diatas, dapat dipahami bahwa upaya pelestarian bahasa daerah telah dilakukan pula oleh organisasi-organisasi bahasa dunia dengan tujuan untuk mempelajari, mengembangkan, dan mendokumentasikan bahasa daerah. Di samping  berbagai  upaya pendokumentasian, kajian-kajian dalam berbagai  perspektif, dan bahkan upaya-upaya revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang berada dalam proses kepunahan, maka usaha menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang multilingual barangkali perlu dipikirkan secara lebih serius. Artinya, masyarakat diharapkan dapat menguasai sekaligus tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa etniknya sendiri dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya daerahnya (Tondo, 2009; Mukhamad Hamid Samiaji, 2024).

Menurut Aminudin Aziz, “Untuk memperlambat kepunahan bahasa daerah, Badan Bahasa meluncurkan program Revitalisasi Bahasa Daerah sejak 2021 di seluruh Indonesia, dengan sasaran siswa SD dan SMP, dengan kebijakan utama adalah memberikan peluang seluas-luasnya menggunakan kembali bahasa daerahnya masing-masing. Adapun sebagai acuan bahan ajar dalam revitalisasi bahasa daerah, ada 4 prinsip, yaitu relevan antara karakter siswa dan lingkungan kebahasaannya, menyenangkan, terpadu dan kolaborasi.” (Rep Pun, 2024). Namun, ketika suatu bahasa sedang menuju pemulihan, faktor-faktor lain apa yang dapat mendorongnya? Bertahan hidup? Tidak semua faktor yang mendukung kelangsungan hidup adalah murni faktor linguistic (Crystal, 2000).      

References

Crystal, D. (2000). Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press. Retrieved from https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/245/223

Mukhamad Hamid Samiaji. (2024, Februari 23). Rapor Merah: Bahasa Daerah di Indonesia Akan Punah! (Kemdikbud, Producer) Retrieved Juli 24, 2024, from Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/4160/rapor-merah:-bahasa-daerah-di-indonesia-akan-punah

Rep Pun. (2024, April 1). UNESCO: Setiap Dua Minggu, Satu Bahasa Daerah Punah di Dunia. (Revo, Editor) Retrieved Juli 24, 2024, from jabarprov.go.id: https://jabarprov.go.id/berita/unesco-setiap-dua-minggu-satu-bahasa-daerah-punah-di-dunia-12944

Rusnan. (2022, Juni). Peran Pemerintah Daerah Bone Bolango dalam Melestarikan Bahasa Bolango. Dikmas: Jurnal Pendidikan Masyarakat dan Pengabdian, 02(2), 461-482. doi:http://dx.doi.org/10.37905/dikmas.2.2.461-482.2022

Tondo, F. H. (2009). Saat ini Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara yang paling banyak bahasa daerahnya. Akan tetapi, pada akhir abad ke-21, sekitar lebih dari setengah bahasa daerah di Indonesia akan punah. Hal ini didasarkan pada sebuah penelitian dari Australian. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 11(2), 277-296. Retrieved Juli 24, 2024, from https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/245/223; https://unsla.uns.ac.id/neounsla/index.php?p=show_detail&id=22151&keywords=

Wurm, S. A. (1998). Australasia and the Pacific. In C. Moseley, & C. Moseley (Ed.), Encyclopedia of the World’s Endangered Languages. London and New York: Reutledge Taylor & Francis Group. Retrieved from https://edisciplinas.usp.br/pluginfile.php/4415432/mod_folder/content/0/Routledge%20Language%20Family%20Series/Christopher_Moseley_Encyclopedia_of_the_Worlds_Endangered_Languages.pdf#page=444

Loading