fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Rabu, 13 Agustus 2025, The International Virtual Summer Course Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo (FSB UNG) memasuki hari kedua dengan tema “Language in Tradition: Expressions of Ritual and Daily Life”.
Materi hari ini dibagi menjadi tiga kelas paralel, masing-masing diampu oleh pengajar berpengalaman: Moh. Syahrun Ibrahim, Ph.D., di Kelas A; Dr. Dewi Dama, S.Pd., M.Ed., di Kelas B; dan Haris Danial, S.Pd., M.A., di Kelas C. Setiap kelas membedah keterkaitan bahasa lokal Gorontalo dengan tradisi ritual serta ekspresi kehidupan sehari-hari yang mencerminkan nilai budaya masyarakat Teluk Tomini.
Peserta internasional mendapatkan pemahaman komprehensif tentang bagaimana bahasa berfungsi tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai media pelestarian nilai-nilai adat. Suasana kelas berlangsung interaktif, dengan peserta aktif bertanya dan membandingkan temuan dengan tradisi di negara masing-masing.
Di Kelas A, Moh. Syahrun Ibrahim, Ph.D., mengulas peta bahasa Gorontalo serta ragam dialeknya yang memuat ekspresi ritual seperti Tuja’i, Molamelo, Mopotilolo, Paade, dan Palebohu. Ia menjelaskan bahwa, Tuja’i merupakan seni tutur tertinggi dalam tradisi Gorontalo, digunakan dalam prosesi adat seperti penobatan, pernikahan, tolobalango, hingga perayaan hari besar Islam.
Peserta juga diperkenalkan pada metafora budaya dalam Tuja’i, seperti perumpamaan perempuan sebagai “berlian, bunga, dan burung” yang mencerminkan penghargaan dan kehormatan keluarga. “Bahasa dalam ritual adalah arsip hidup nilai-nilai leluhur yang harus kita rawat,” tegasnya. Sesi ini memperkaya pemahaman peserta akan kedalaman makna dalam ungkapan-ungkapan adat Gorontalo.
Kelas B yang dipandu Dr. Dewi Dama membahas perbedaan konteks bahasa dalam ranah ritual dan kehidupan sehari-hari, mulai dari tingkat formalitas hingga fungsi simboliknya. Ia memaparkan bentuk-bentuk sastra lisan seperti Pilu, Tinilo, Wungguli, hingga Mala-mala yang mengandung pesan moral dan nilai kebersamaan. Peserta juga diajak memahami ungkapan-ungkapan adat yang digunakan dalam upacara pernikahan, seperti u po’o-po’ooyo wau u oli-oliyo’o dan ilata wau bulonggodu, yang sarat makna simbolis.
Dr. Dewi menekankan bahwa, banyak bahasa lokal di Teluk Tomini masuk kategori terancam punah, sehingga perlu strategi pelestarian melalui pendidikan dan dokumentasi digital. “Ketika bahasa hilang, hilang pula tradisi dan identitas yang menyertainya,” ujarnya.
Sementara itu di Kelas C, Haris Danial, M.A., mengangkat kekayaan sastra lisan Gorontalo sebagai media penyampai nilai dan perekat sosial. Ia memperlihatkan kutipan doa, ucapan syukur, dan ungkapan introspektif yang digunakan dalam berbagai prosesi adat, yang mengandung makna kerendahan hati, penghormatan, dan permohonan maaf.
Peserta diajak menonton cuplikan video pembacaan Tuja’i dalam acara adat untuk merasakan langsung nuansa bahasa dan emosinya. Haris menekankan bahwa setiap ungkapan adat memuat filosofi yang relevan dengan kehidupan modern, seperti pentingnya menjaga keharmonisan keluarga dan komunitas. “Menjaga bahasa tradisi berarti menjaga jati diri kita sebagai bagian dari warisan Teluk Tomini,” pungkasnya.