fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Perayaan Bakdo Ketupat di Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu tradisi budaya yang masih lestari hingga kini. Desa ini dikenal sebagai tempat yang dihuni oleh keturunan para pejuang pengikut Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, desa Reksonegoro ditetapkan sebagai desa budaya di kabupaten Gorontalo. Perayaan ini tidak hanya menjadi momentum kebersamaan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai perjuangan dan spiritualitas yang diwariskan oleh para leluhur.
Sejarah dan Asal Usul Bakdo Ketupat
Bakdo Ketupat merupakan tradisi yang berlangsung sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri. Kata “Bakdo” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “setelah” atau “usai”, sementara “Ketupat” merujuk pada makanan khas yang terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa muda. Dalam sejarah Islam Jawa, ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbol permohonan maaf dan kesucian diri setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan.
Di Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo, Bakdo Ketupat memiliki dimensi historis yang lebih mendalam. Desa ini dihuni oleh keturunan para pengikut Diponegoro yang diasingkan oleh Belanda ke Tondano setelah Perang Diponegoro (1825-1830). Mereka membawa serta tradisi dan nilai perjuangan yang kemudian menyatu dengan budaya Islam Jawa, termasuk perayaan Bakdo Ketupat.
Kuliner Sakral: Ketupat, Nasi Jaha, dan Jenang
Dalam perayaan Bakdo Ketupat di Reksonegoro, beberapa hidangan khas selalu disajikan sebagai simbol keberkahan dan kebersamaan, di antaranya:
- Ketupat – Selain sebagai simbol kesucian, ketupat mencerminkan filosofi kehidupan yang terjalin dalam kebersamaan, seperti anyaman daun kelapa yang menyelimuti ketupat.
- Nasi Jaha- Makanan berbahan dasar beras ketan dan santan yang berbumbu khas dimasak dalam bambu. Nasi Jaha melambangkan kekuatan dan ketahanan, mencerminkan semangat perjuangan para leluhur.
- Jenang – Jenang atau bubur manis dibuat sebagai simbol kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam kepercayaan masyarakat, jenang menjadi makanan syukuran yang menyertai berbagai perayaan adat.
Nilai Filosofis dan Simbolisme
Dalam perspektif budaya, ketupat, nasi jaha, dan jenang memiliki makna simbolik yang kuat. Anyaman ketupat melambangkan keterikatan sosial, nasi jaha mencerminkan perjuangan dan ketahanan, sementara jenang melambangkan kesejahteraan yang diharapkan oleh masyarakat.
Menurut teori Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures, kebudayaan adalah sistem makna yang diwariskan melalui simbol. Dalam konteks Bakdo Ketupat, makanan yang disajikan merupakan bagian dari sistem simbol yang diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan identitas kolektif masyarakat Reksonegoro sebagai pewaris tradisi leluhur pejuang.
Rangkaian Acara Perayaan:
- Ziarah Makam Leluhur Sebelum perayaan, masyarakat melakukan ziarah ke makam para leluhur yang diyakini sebagai pejuang pengikut Diponegoro. Ziarah ini bertujuan untuk mengenang jasa mereka serta mendoakan keberkahan bagi desa. Tetapi di Desa Reksonegoro, ziarah kubur dilakukan bersama-sama sebelum memasuki bulan suci ramadhan. Tradisi ini dinamakan punggowan
- Kenduri=Kenduren dan Syukuran Warga desa berkumpul di masjid atau rumah tokoh adat untuk mengadakan kenduri dengan hidangan utama ketupat, nasi jaha, jenang, opor ayam, dan aneka lauk khas Jawa. Dalam kenduri ini, doa bersama dipanjatkan untuk kesejahteraan dan keberkahan.
- Kirab Budaya Acara ini menampilkan arak-arakan yang diikuti oleh warga dengan pakaian adat serta membawa berbagai hasil bumi sebagai simbol rasa syukur. Di Desa Reksonegoro, kirab ini sudah tidak dilakukan tetapi masyarakat membawa nampan yang sudah berisi ketupat beserta lauknya di antar ke masjid dengan cara dijunjung di atas kepala.
- Pertunjukan Kesenian Tradisional seperti Hadra ataupun rodat sebagai bentuk mempertahankan warisan budaya.
Relevansi dengan Nilai-Nilai Perjuangan Diponegoro
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai sosok pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, keberanian, dan keadilan. Warisan ini masih tampak dalam perayaan Bakdo Ketupat di Reksonegoro, di mana nilai gotong royong, ketakwaan, serta penghormatan kepada leluhur tetap dijunjung tinggi.
Menurut Pierre Bourdieu (1986) dalam teorinya tentang habitus dan modal budaya, praktik budaya seperti Bakdo Ketupat adalah bentuk modal simbolik yang memperkuat identitas sosial komunitas. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Reksonegoro tidak hanya menjaga hubungan dengan masa lalu, tetapi juga membangun identitas mereka di tengah perubahan zaman.
Simpulan
Perayaan Bakdo Ketupat di Desa Reksonegoro adalah contoh nyata bagaimana sebuah komunitas mempertahankan warisan leluhur dalam kehidupan modern. Melalui berbagai ritual, simbolisme, dan sajian khas seperti ketupat, nasi jaha, dan jenang, masyarakat tidak hanya memperingati hari kemenangan setelah Ramadan, tetapi juga menghidupkan kembali semangat perjuangan para pengikut Diponegoro. Tradisi ini menjadi bukti bahwa budaya tidak hanya sekadar warisan, tetapi juga sebuah praktik sosial yang terus berkembang dalam dinamika masyarakat.
Referensi:
- Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. Basic Books, 1973.
- Bourdieu, Pierre. The Forms of Capital. Richardson, J., Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, 1986.
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi, 2005.
- Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press, 2008.
- Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia, 2004.