Model Pembelajaran Berbasis Budaya dalam Pembelajaran Bahasa, oleh: Yunita Hatibie, S.Pd., M.Pd

A. PENDAHULUAN

    Bahasa merupakan suatu keterampilan penting yang harus dikuasai dalam menjawab tantangan peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi diera 4.0. Tanpa keterampilan berbahasa, seseoramg akan sulit bersaing diera 4.0. Sementara itu, keterampilan berbahasa merupakan syarat utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sehingga tidak berlebihan jika orang yang menguasai bahasa mampu menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnogi serta mampu berperan aktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tak sedikit generasi muda justru tidak memiliki keterampilan berbahasa yang cukup memadai dalam berkompetisi dengan negara lain dibidang ilmu pendidikan dan tekhnologi. Bahkan beberapa hasil survei menunjukkan bahwa negara Indonesia berada pada posisi terakhir dalam hal kemampuan membaca. Data Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang meneliti siswa kelas IV SD menunjukkan bahwa prestasi membaca siswa Indonesia sangat rendah. Kemampuan membaca siswa Indonesia pada urutan ke-45 dari 49 negara yang diteliti. Skor Indonesia (405) berada di atas Katar (353), Maroko (323), dan Afrika Selatan (302). (Umam, 2015)

     Selain itu, kurangnya keterampilan berbahasa juga tampak pada mahasiswa. Sementara itu harus bisa memiliki keterampilan berbahasa sebagai bekal menjadi guru atau profesi lainnya. Bagaimana mereka bisa menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi jika keterampilan berbahasa saja sulit mereka kuasai. Sementara itu, pembelajaran bahasa sudah diajarkan dari bangku TK hingga pendidikan tinggi. Ada apa dengan pembelajaran bahasa selama ini?

    B. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

    Persoalan pembelajaran bahasa sepertinya tidak pernah ada habis-habisnya walaupun setiap waktu para peneliti dan pemerhati pendidikan melakukan riset untuk bisa memecahkan persoalan tersebut. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah kualitas pembelajaran bahasa yang termasuk didalamnya adalah model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran tersebut. Dewasa ini terdapat berbagai macam model pembelajaran bahasa yang tentunya masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus benar-benar bisa menguasai beberapa model pembelajaran bahasa agar bisa menentukan model pembelajaran yang cocok untuk diterapkan dalam suatu pembelajaran bahasa dengan memperhatikan beberapa faktor seperti kemampuan peserta didik dalam memahami pembelajaran, lingkungan, budaya, status sosial, dan lain sebagainya.

    Dalam hal ini, pembelajaran berbasis budaya merupakan pembelajaran yang menciptakan suasana pembelajaran dan pengalaman belajar yang memuat unsur-unsur budaya termasuk didalamnya nilai-nilai luhur bangsa, nilai-nilai agama, nilai-nilai moral dan nilai-nilai kebenaran sebagai suatu dasar pokok dalam suatu proses pembelajaran. Sehingga model pembelajaran berbasis budaya ini bisa menjadi media pembelajaran yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam pembelajaran untuk dapat merubah kondisi belajar yang tidak baik menjadi seperti yang diharapkan yakni terciptanya kondisi belajar yang efektif, inovatif, kreatif dan produktif dalam suatu proses pembelajaran bahasa yang menempatkan peserta didik bukan saja sebagai penerima informasi yang diberikan oleh pendidik namun juga bisa bereksplorasi dengan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan yang ada disekitarnya yang bisa diadopsi melalui berbagai sumber belajar termasuk dari budaya lokal disekitarnya dan bertransformasi menjadi suatu bentuk pemikiran dan perilaku yang benar-benar bisa membawa perubahan yang siknifikan pada sikap dan kepribadian peserta didik.

    Dengan demikian sangatlah jelas bahwa konsep pembelajaran berbasis budaya sejalan dengan konsep belajar kontruktivisme karena terdapat perubahan budaya belajar dan perubahan sikap dan kepribadian peserta didik. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa Inggris merupakan proses pembudayaan ilmiah yang diadopsi dari nilai-nilai luhur budaya bangsa maupun budaya lokal untuk menciptakan suatu perubahan yang signifikan pada sikap dan kepribadian peserta didik sehingga mampu merevolusi mental anak-anak bangsa sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.

    Namun yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya adalah substansi dan kompetensi kajian keilmuan, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan peran budaya itu sendiri. Hal ini perlu diperhatikan karena pembelajaran berbasis budaya bertujuan untuk menguasai pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu kajian ilmu daripada hanya memamahami isi kajian ilmu sehingga peserta didik mampu untuk menyelesaikan persoalan-peroalan yang dihadapinya dalam proses pembelajaran secara efektif yang didasarkan pada nilai-nilai luhur budaya yang dapat menjadikan mereka kreatif dan terus berinovasi secara ilmiah sehingga mampu meciptaan hal-hal yang baru dalam proses pembelajaran.  Oleh sebab itu, pembelajaran berbasis budaya lebih memfokuskan pada  kebermaknaan dalam proses pembelajaran yang bermakna dan dinamis sehingga peserta didik akan lebih bersikap aktif, inovatif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Untuk itulah, pembelajaran berbasis budaya membutuhkan pengukuran penilaian hasil belajar peserta didik yang bukan saja menilai hasil belajar peserta didik melalui tes hasil belajar saja namun lebih beragam daripada hal tersebut. Dalam hal ini, pendidik dan peserta didik bisa menentukan ragam penilaian hasil belajar peserta didik berdasarkan kesepakatan bersama.

    Dalam implementasinya, pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni budaya sebagai materi pembelajaran, budaya sebagai media pembelajaran dan budaya sebagai model pembelajaran. Contoh budaya sebagai materi pembelajaran bahasa Inggris terintegrasi dalam Mata Kuliah Cross Culture Understanding dan Mata Kuliah Sastra Inggris termasuk didalamnya Introduction to Literature, Poetry, Prose, Drama, and Literary Criticicm. Adapun budaya sebagai media pembelajaran dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang terintegrasi pada Mata Kuliah keahlian seperti Intensive Course, Speaking, Reading, Listening dan Reading. Budaya sebagai media pembelajaran juga bisa digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang terintegrasi dalam Mata Kuliah Linguistik seperti Mata Kuliah Introduction to Linguistics, Semantics, Pragmatics, Sosiolinguistics, English Grammar, dll. Sementara itu, budaya sebagai model pembelajaran dapat diintegrasikan dalam Mata kuliah Teaching English as a Foreign Language, Curriculum and text Book Development, English Language Teaching Asessement, dll.

    C. FOKUS PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

    Adapun dalam proses belajar dalam pembelajaran berbasis budaya memfokuskan pada beberapa hal dibawah ini:

    1. Strategi agar peserta didik dapat melihat hubungan antara konsep /prinsip bidang keilmuan dengan budaya dalam berbagai konteks yang baru dan konteks budaya lokal.
    2. Strategi agar peserta didik dalam memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang kajian ilmu dan budaya sebagai dasar berpikir kritis dalam penyelesaian berbagai persoalan budaya lokal dan pengambilan keputusan berdasarkan kajian keilmuannya.
    3. Strategi agar peserta didik dapat berpartisipasi aktif, kreatif, inovatif dan produktif dalam pembelajaran berbasis budaya.
    4. Strategi agar peserta didik dapat menemukan kebermaknaan dengan mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya dengan berbagai pengetahuan baru yang didapatkannya dari berbagai sumber pengetahuan disekitarnya melalui interaksi aktif dengan peserta didik yang lain, pendidik, tokoh masyarakat, orang tua, buku-buku, majalah, contoh konkret dilapangan, dll.
    5. Strategi agar peserta didik dapat menemukan kebermaknaan dari kajian keilmuan yang dikajinya dengan konteks budaya lokal.
    6. Strategi agar peserta didik dapat menemukan kebermaknaan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kajian keilmuan yang digelutinya dengan budaya lokalnya secara ilmiah.

    Oleh sebab itu, pembelajaran berbasis budaya yang didasarkan pada teori belajar kontrutivisme ini berfokus pada kajian umum dan bukan untuk kajian khusus dan berfokus juga pada penciptaan suasana belajar yang kondusif, kreatif, inovatif, produktif dan dinamis dengan memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk berekspresi dan berkreasi sesuai dengan kapasitas dan kompotensi peserta didik. Dalam hal ini, pendidik memandang peserta didik adalah pribadi yang unik yang patut dihargai, dibimbing, dibina dan diberi petunjuk dengan bijak.

    Sementara itu, pembelajaran bahasa merupakan salah satu praktek kajian dalam pembelajaran budaya karena bahasa merupakan alat utama yang penting dalam memahami makna dan nilai-nilai dalam kajian budaya (Storey, J. Terjemahan Nurdin, 2003). Karena dalam penggunaan bahasa terdapat beberapa penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem yang membentuk kata dengan aturak sintaks untuk membangun kalimat yang bermakna.

    D. DEFINISI BAHASA

    Bahasa dikenal sebagai second order of logic yang berfungsi sebagai metodologi berfikir dalam ilmu pengetahuan. Sistem berfikir logic yang kedua ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengungkap fakta empiric dan membangun kebenaran, sekaligus sebagai alat untuk mengkonfirmasi dan menguji keterandalan fakta dan kebenaran itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahasa bermakna:

    1. satu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
    2. satu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
    3. satu kesatuan sistem makna
    4. satu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
    5. satu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh : Perkataan, kalimat, dan lain lain.)
    6. satu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.

    Dari definisi diatas dapat dilihat adanya hubungan antara bahasa dan kognitif manusia yang membedakan manusia dengan hewan karena dapat dipelajari melalui ilmu linguistic yaitu ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Ilmu-ilmu inilah yang dipelajari dalam pembelajaran bahasa.

    Richards dalam bukunya Language Teaching and Applied Linguistics, Language is the system of human communication which consist of the structured arrangement of sounds (or their written representation ) into larger unit”, (Jack C. Richards, John Platt, and Heidi Platt,, 1992)  Selanjutnya, menurut Kridalaksana dalam bukunya  Abdul Chaer, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. (Chaer, 2007)

    Dalam kajian budaya, bahasa merupakan bentuk komunikasi, baik lisan, tetulis, atau tanda, yang didasarkan pada sistem simbol. Semua bahasa manusia adalah generatif (diciptakan). (Santrock, 2007)  Maka dari itu dalam kehidupan sosial budaya, bahasa sangat diperlukan dalam berkomunikasi. Apalagi dalam proses belajar mengajar, maka dituntut guru dan murid dapat berkomunikasi dengan baik yang tentunya memperhatikan faktor budaya setempat. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan budaya. Baik guru dan murid menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi untuk saling terhubung melalui keterampilan bahasa yaitu berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Mereka perlu bahasa untuk mendeskripsikan masa lalu secara detail dan merencanakan masa depan.

    Sebenarnya, bahasa bukanlah alat satu-satunya untuk berkomunikasi. Komunikasi dapat juga dilakukan dengan tanda, lambang, warna atau dengan gerakan tubuh. Meskipun demikian, untuk berkomunikasi bahasa merupakan yang paling sempurna, karena dapat mentransmisikan informasi dari si pemberi kepada penerima informasi. Dengan demikian, penguasaan bahasa sebagai alat untuk bertanya dan menjawab, meminta dan memberi, memerintah dan melarang, memberi tahu dan menanggapi dan sebagainya, perlu dipelajari serta dikuasai.

    Dalam konteks sosial budaya, bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi membentuk hubungan antara pembicara sebagai pengirim (sender), sedangkan penerima (receiver) adalah penerima warta (message). Warta terbentuk oleh informasi yang  disampaikan sender, dan message merupakan objek dari komunikasi. Feedback muncul setelah warta diterima, dan merupakan reaksi dari penerima pesan. (Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, 2008) Dalam hal penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi perlu diperhatikan bahwa bahasa itu tidak hanya untuk saling menyampaikan atau mempertukarkan kata-kata tetapi juga harus bermakna dan informasi. Disinilah pentingnya model pembelajaran berbasis budaya dalam pembelajaran bahasa.

    E. PENTINGYA PEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS BUDAYA

    Alasan penting pembelajaran bahasa berbasis budaya, didasarkan pada pertimbangan berikut.

    1. Bahasa Sebagai Sistem

    Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang  bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Jadi bahasa sebagai sistem adalah di mana bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu kesatuan.

    Contoh :

    1. Kucing itu melompatlah ke meja
    2. Kucinglah melompat itu meja ke
    3. sebuah kalimat bahasa Indonesia karena tersusun dengan benar menurut pola aturan kaidah bahasa Indonesia. Sebaliknya , (b) bukan kalimat bahasa Indonesia karena tidak tersusun menurut pola aturan atau sistem bahasa Indonesia.
    4. Bahasa Sebagai Lambang

    Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Misalnya, kalau di mulut gang atau jalan di Jakarta ada bendera kuning (entah terbuat dari kertas atau kain), maka kita akan tahu di daerah itu atau di jalan itu ad orang yang meninggal. Mengapa? Karena secara konvensional bendera kuning dijadikan tanda akan adanya kematian. Begitu pula dengan gambar padi dan kapas yang berada di dalam perisai burung Garuda Pancasila secara konvensional dipakai untuk melambangkan asas keadilan social. Lain halnya dengan tanda “adanya asap” dengan “adanya api”, sebab asap dihasilkan oleh api.

    • Bahasa adalah Bunyi

    Bahasa adalah sistem  lambang bunyi. Jadi, sistem bahasa itu berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. (Chaer, 2007) Lalu yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi bunyi yang bukan dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa. Bunyi teriak, bersin, batuk-batuk, dan bunyi orokan bukan termasuk bunyi bahasa, meskipun dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speech sound ) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”.

    • Bahasa itu Bermakna

    Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka, yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.

    • Bahasa itu Arbitrer

    Arbitrer adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinand de Saussure (1996:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut significant ( Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh significant. Hubungan antara significant atau penanda dengan signifie atau petanda itulah yang disebut arbitrer, sewenang-wenang, atau tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.

    • Bahasa itu Konvensional

    Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, yang secara arbitrer dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia, semuanya, harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya, dan menggantikannya dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat. Bahasanya menjadi tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa Indonesia lainnya; dan berarti pula dia telah keluar dari konvensi itu.

    • Bahasa Itu Produktif

    Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah “banyak hasilnya”, atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan”. Lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan

    unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satu-satuan  bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relative, sesuai dengan system yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kalau kita ambil fonem-fonem bahasa Indonesia /a/, /i/, /k/, dan /t/; maka dari keempat fonem itu dapat kita hasilkan satu-satuan bahasa

    /i/-/k/-/a/-/t/              /k/-/a/-/t/-/i/

    /k/-/i/-/t/-/a/             /k/-/a/-/i/-/t/

    /k/-/i/-/a/-/t/

    • Bahasa Itu Unik

    Unik artinya mempunyai cirri khas yang specific yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya.

    • Bahasa Itu Universal

    Karena bahasa itu berupa ujaran, maka cirri universal dari bahasa yang paling utama adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi  bahasa yang terdiri dari vocal dan konsonan.

    1. Bahasa Itu Dinamis

    Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis.

    1. Bahasa Itu Bervariasi

    Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Siapakah yang menjadi atau termasuk dalam suatu masyarakat bahasa? Yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa adalah mereka yang merasa menggunakan  bahasa yang sama.

    1. Manusia Itu Manusiawi

    Bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Binatang dapat berkomunikasi dengan sesame jenisnya, bahkan juga dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun alat komunikasinya tidaklah sama dengan alat komunikasi manusia yaitu bahasa.

    Dilain pihak bahasa juga memiliki unsur-unsur bahasa seperti fonem, morfem, sintaks, semantic, dan diskurs. Fonem merupakan unsur terkecil dari ujaran yang bisa digunakan untuk membedakan arti dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah dan jenis fonem yang berbeda-beda. Misalnya bahasa Jepang tidak mengenal fonem /la/ sehingga perkataan yang menggunakan fonem /la/ diganti dengan fonem /ra/.

    Sementara itu, morfem merupakan unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga. Sintaks merupakan penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO atau SPO yaitu subjek predikat objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa yang memperbolehkan kata kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.

    Adapun dalam semantik, pembelajaran bahasa mengacu pada makna suatu bahasa yang dibentuk dalam suatu kalimat serta menekankan pada pemaknaan. Dirkurs mengkaji tahapan percakapan, paragraph, bab, cerita atau literature dalam bahasa.

    Oleh sebab itu, model pembelajaran bahasa berbasis budaya menekankan pada proses pembelajaran bahasa yang memiliki tujuan untuk menguasai bahasa dengan baik dan sistematis.  Dalam hal ini, Bruner mengemukakan proses belajar yang terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahap informasi, transformasi, dan evaluasi. Tahap informasi adalah proses penjelasan, penguraian, atau pengarahan mengenai prinsip-prinsip struktur pengetahuan, keterampilan dan sikap. Tahap transformasi adalah proses peralihan atau perpindahan prinsip-prinsip struktur tadi ke dalam diri peserta didik. Sehingga dalam proses pembelajaran bahasa berbasis budaya menekankan pada perubahan tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran yang menciptakan kondisi interaksi antara pembelajar dengan lingkungan sosial dan budayanya baik melalui pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku ini mengedepankan karakter atau sikap yang menyeluruh terhadap aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

    F. KESIMPULAN

    Intinya dalam model pembelajaran berbasis budaya, pembelajaran bahasa mengacu pada perubahan yang permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil pengalaman belajar maupun latihan belajar bahasa,

    Ernest R. Hilgart dalam buku S Nasution, mengemukakan bahwa :

    “Learning is the process by which an activity originates or is changed trough training procedure (whether in laboratory on in the natural environtment) as distinguished from changes by factors not attributable to training” . (www)

    Jadi seseorang dapat dikatakan belajar jika telah menunjukkan perubahan sikap baik ditempat kerja, dilembaga mapun lingkungan yang menyebabkan adanya perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap.

    Sejalan dengan hal ini, Harold Albert yang dikutip S. Nasution (1982:46) menegaskan bahwa “Learning is an active process  which involes dynamic interaction learner and his environment”. (www) Abin Syamsudin Maksum (1981:143) juga menyebutkan bahwa :

    “Belajar itu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktek atau pengalaman tersebut….. Perubahan itu mungkin merupakan suatu pertemuan informasi atau penguasaan keterampilan baru sama sekali …. Mungkin bersifat penambahan atau pengkayaan diri informasi atau pengetahuan dan keterampilan yang ada bahkan mungkin pula merupakan reduksi atau penghilang sifat kepribadian tertentu yang tidak dikehendaki”.

    Pendapat tersebut memberikan ciri bahwa seseorang dikatakan belajar, apabila pada dirinya telah terjadi penampakan adanya perolehan informasi yang baru, dan sikap kepribadian yang baru kearah yang lebih baik, sesuai dengan yang diharapkan.

    Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. (htt). Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.

    Bibliography

    (n.d.). www.purwakarta.go.id,p.3.

    (n.d.). http://id.wikipedia.org/wiki/Belajar.

    Chaer, A. (2007). “Linguistik Umum” . Jakarta: Rineka Cipta, p 32.

    Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa . Bandung: Rosda, p.240.

    Jack C. Richards, John Platt, and Heidi Platt,. (1992). Language Teaching and Applied Lingustics . England: Longman. p. 196.

    Santrock, J. (2007). Psikologi Pendidikan . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, P.67.

    Storey, J. Terjemahan Nurdin. (2003). Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.

    Umam, A. K. (2015). “Pemahaman Membaca Siswa SD Indonesia Masih Lemah”. Yogyakarta: http://ugm.ac.id/id/berita/8593 pemahaman.membaca.siswa.sd.indonesia.masih.lemah.

    Loading