fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Tim peneliti Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertema “Strategi Revitalisasi Bahasa Gorontalo sebagai Upaya Penyelamatan Kepunahan Bahasa Daerah di Provinsi Gorontalo” pada Jumat (29/8/2025), bertempat di Aula Loolade FSB UNG.
Kegiatan ini merupakan bagian dari penelitian hibah Dikti skema Penelitian Fundamental Reguler tahun 2025 yang dipimpin oleh Prof. Dr. Dakia N. Djou, M.Hum. bersama tim peneliti Dr. Ellyana G. Hinta, M.Hum. dan Dr. Salam, M.Pd..
Acara dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Sastra dan Budaya UNG, Prof. Nonny Basalama, M.A., Ph.D. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa upaya revitalisasi bahasa daerah merupakan misi penting perguruan tinggi dalam melestarikan identitas budaya bangsa.
“Bahasa Gorontalo bukan sekadar alat komunikasi, tetapi warisan budaya yang sarat nilai dan sejarah. Fakultas Sastra dan Budaya UNG berkomitmen untuk menjadi garda terdepan dalam riset dan aksi nyata penyelamatan bahasa daerah dari kepunahan,” tegas Prof. Nonny.
Diskusi ini menghadirkan Dr. Asna Ntelu, M.Hum. sebagai narasumber yang memberikan pandangan strategis terkait pelestarian bahasa di era modern. Forum juga dihadiri beragam pemangku kepentingan, mulai dari unsur legislatif, birokrat pendidikan, akademisi, guru, hingga komunitas pelestari bahasa.
Hadir antara lain Anggota Komisi 4 DPRD Provinsi Gorontalo, Perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Gorontalo dan se-kabupaten, Ketua Pusat Studi Pelestarian Bahasa Daerah UNG, para kepala SMA, Guru, serta dosen di lingkungan perguruan tinggi di Provinsi Gorontalo.
Dalam paparannya, Prof. Dakia menegaskan bahwa revitalisasi Bahasa Gorontalo adalah agenda mendesak untuk menjaga identitas budaya daerah. “Kehilangan bahasa sama artinya dengan kehilangan identitas dan pengetahuan lokal. Strategi revitalisasi harus melibatkan pendidikan, komunitas, hingga kebijakan daerah agar keberlanjutan bahasa ini terjamin,” ujarnya.
Narasumber Dr. Asna Ntelu turut menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif. “Revitalisasi bahasa daerah tidak bisa hanya mengandalkan sekolah, tetapi harus melibatkan keluarga, komunitas, dan media digital. Jika generasi muda tidak diberikan ruang kreatif menggunakan bahasa Gorontalo, maka upaya pelestarian akan berjalan lambat,” jelasnya.
Tim peneliti merancang penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif partisipatif, menggunakan kerangka 11 faktor revitalisasi bahasa Yamamoto yang diperluas oleh Mumpande & Barnes, mencakup aspek pendidikan, komunitas, kebijakan, media digital, hingga penguatan identitas etnis.
Beberapa rekomendasi dari forum ini antara lain penguatan kurikulum muatan lokal, pelatihan guru penutur asli, pengembangan bahan ajar tertulis, pemanfaatan media digital, pembentukan program studi bahasa dan sastra daerah di perguruan tinggi, pembentukan organisasi komunitas, serta dorongan lahirnya regulasi daerah yang mendukung pelestarian bahasa.
Luaran penelitian ditargetkan berupa dokumen strategi revitalisasi, model integratif berbasis komunitas, rekomendasi kebijakan, buku dan HKI program revitalisasi, serta publikasi ilmiah internasional bereputasi Q1.
Prof. Dakia menutup forum dengan pesan: “Revitalisasi bahasa bukan hanya soal linguistik, tetapi gerakan sosial dan budaya. Keberhasilannya bergantung pada sinergi pemerintah, komunitas, dan generasi muda. Mari bersama selamatkan Bahasa Gorontalo sebagai identitas dan warisan budaya kita.”