Hari Kartini sering dirayakan dengan gegap gempita: anak-anak perempuan disuruh pakai kebaya, upacara adat digelar, dan Kartini dipuji-puji sebagai pejuang emansipasi. Tapi kita jarang bertanya: Kartini versi siapa yang kita rayakan? Dan apa yang sesungguhnya diperjuangkan Kartini?
Kartini memang meninggalkan kenyamanan keluarga bangsawan demi cita-cita intelektual dan sosial. Ia mengorbankan banyak hal untuk membaca, menulis, dan menyuarakan ketidakadilan terhadap perempuan—terutama perempuan pribumi dalam sistem feodal dan kolonial. Tapi justru narasi korban demi kemuliaan inilah yang perlu ditinjau ulang: mengapa perjuangan perempuan selalu dituntut untuk berkorban demi disebut “mulia”?
Lebih jauh lagi, simbol kebaya yang sering diagungkan dalam perayaan Hari Kartini justru menjadi bentuk pembekuan identitas. Ia dijadikan semacam seragam nasional perempuan ideal—halus, anggun, dan njawani. Padahal, Kartini hidup dalam konteks Jawa pesisir yang berlapis-lapis budaya, dan ia tidak sedang memperjuangkan Jawanisasi, melainkan pembebasan pikiran dan peluang bagi perempuan di Nusantara.
Memaknai kebaya sebagai simbol tunggal perjuangan perempuan bisa menutup keragaman bentuk emansipasi di wilayah lain: perempuan Papua, perempuan Bugis, perempuan Batak, perempuan Gorontalo—semuanya punya sejarah dan simbol perjuangan masing-masing. Kita perlu melepaskan Hari Kartini dari kungkungan simbol-simbol sempit dan membacanya ulang sebagai momen refleksi kritis: bagaimana pengetahuan, akses, dan kebebasan masih menjadi perjuangan yang relevan hingga hari ini. (Dr. Suleman Bouti, S.Pd.,M.Hum)
Renung-Pikir, Renung-Pikir, Renung-?
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..