fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Pendidikan inklusif bukan sekadar konsep dalam dokumen kebijakan, tetapi nyata hadir di ruang-ruang kelas di Indonesia. Di balik implementasinya, ada guru-guru luar biasa yang dengan sabar dan kreatif terus mencari cara agar semua anak bisa belajar, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Salah satu kisah inspiratif datang dari SD Laboratorium Universitas Negeri Gorontalo, sebuah sekolah dasar yang menerapkan model pendidikan inklusif. Di sana, Farmin Yunus, S.Pd.,M.Pd., seorang guru kelas 2, menjalankan peran ganda: sebagai pendidik dan sekaligus inovator. “Sekolah sudah menyediakan alat ajar, tapi kami tetap buat sendiri media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak,” ujar Pak Farmin dalam wawancara lapangan yang kami lakukan.
Ia menyadari bahwa materi pembelajaran standar sering kali belum cukup untuk menjangkau seluruh siswa, terutama anak-anak dengan hambatan seperti speech delay atau autisme ringan. Alih-alih menyerah pada keterbatasan, Pak Farmin memilih untuk berinovasi. Ia merancang sendiri media pembelajaran tambahan yang lebih personal dan kontekstual.
Tak hanya itu, ia juga menjalin komunikasi intensif dengan orang tua agar proses belajar mengajar bisa berlanjut secara sinergis di rumah. “Sinergi antara guru, sekolah, dan keluarga sangat penting,” tegasnya.
Meskipun telah mengikuti pelatihan dasar tentang pendidikan inklusif, Pak Farmin menyampaikan pentingnya pelatihan lanjutan. “Kami pernah ikut pelatihan, tapi masih perlu pelatihan lanjutan supaya lebih paham menangani anak-anak berkebutuhan khusus,” tambahnya.
Cerita Pak Farmin adalah salah satu dari sekian banyak praktik baik yang kami temukan dalam mini riset mengenai pembelajaran inklusif di sekolah dasar. Penelitian kecil ini bertujuan untuk merekam suara-suara guru yang setiap hari berada di garis depan pelaksanaan pendidikan yang ramah bagi semua anak.
Apa yang dilakukan Pak Farmin menunjukkan bahwa guru inklusif tidak hanya mengajar, tetapi juga menciptakan. Mereka menjadi penyusun strategi, sekaligus jembatan antara dunia sekolah dan dunia rumah. Mereka memastikan bahwa setiap anak, apapun latar belakang dan kebutuhannya, mendapatkan kesempatan belajar yang setara dan bermakna. (Fahria Malabar, S.Pd.,M.A dan Helena Badu, S.Pd.,M.Pd)
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..