Oleh: Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd.
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Pendidikan bahasa Indonesia selama ini sering dianggap sebagai ranah yang teoritis dan kaku, terutama ketika siswa dihadapkan pada teks-teks ilmiah seperti laporan percobaan. Padahal, esensi pembelajaran bahasa bukan hanya sekadar menghafal struktur atau kaidah kebahasaan, melainkan menginternalisasikannya melalui pengalaman nyata.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa metode experiential learning mampu menjawab tantangan tersebut. Dengan melibatkan siswa secara langsung dalam pengalaman belajar, mereka tidak hanya memahami konsep, tetapi juga merasakannya sebagai bagian dari proses berpikir ilmiah.
Fakta di lapangan membuktikan adanya lompatan signifikan. Jika pada siklus pertama hanya sekitar 21,4% siswa yang mencapai ketuntasan dengan nilai rata-rata 66,4, maka pada siklus kedua seluruh siswa (100%) berhasil melampaui KKM dengan rata-rata 86,5.
Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan bagaimana suasana belajar yang aktif, kontekstual, dan menyenangkan mampu mendorong capaian akademik yang lebih optimal. Perubahan kecil, seperti variasi lingkungan belajar ke ruang terbuka, terbukti mampu meningkatkan motivasi dan partisipasi siswa.
Lebih jauh, keberhasilan ini juga menegaskan bahwa pendidikan di era Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk keluar dari pola lama yang monoton. Siswa bukan lagi objek pasif, melainkan subjek yang aktif membangun pengetahuan. Metode experiential learning yang menekankan siklus pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan penerapan nyata, memberi ruang bagi siswa untuk membangun keterampilan berpikir kritis sekaligus mengasah nilai kolaborasi. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga menumbuhkan karakter.
Ke depan, hasil penelitian ini patut menjadi renungan bersama para pendidik dan pembuat kebijakan. Jika ingin mewujudkan profil Pelajar Pancasila yang adaptif, kritis, dan berkarakter, maka inovasi pembelajaran berbasis pengalaman harus semakin diperluas. Bahasa Indonesia, khususnya pada materi teks faktual seperti laporan percobaan, seharusnya menjadi wahana siswa untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan praktik nyata. Dengan begitu, kelas bahasa tidak lagi sekadar ruang hafalan, tetapi medan pembentukan insan pembelajar sepanjang hayat.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo…