fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Remaja masa kini mengupas sejarah 97 tahun lalu, dengan bahasa diskusi yang ringan. Usai gema Kongres Pemuda I mereda, semangat itu tak lantas padam. Bara kecil yang tertanam di dada para pemuda justru kian menyala, mencari jalan untuk menjelma menjadi api yang lebih besar. Di ruang-ruang sederhana, di bawah cahaya lampu minyak dan di tengah riuh zaman yang masih terbelenggu penjajahan, mereka kembali berkumpul.
Pertemuan demi pertemuan digelar di tahun 1928, tidak hanya berbincang, tetapi untuk menegaskan tekad. Waktu berjalan terus, dan semangat itu dirawat oleh Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi motor penggerak kesatuan. Dari berbagai penjuru datang para wakil organisasi pemuda, membawa mimpi dan keyakinan yang sama, bahwa Indonesia harus bersatu di bawah satu semangat, satu cita, dan satu bahasa.
Dari rapat-rapat yang hangat oleh idealisme dan cinta tanah air itu, lahirlah keputusan bersejarah, Kongres Pemuda II akan digelar pada bulan Oktober 1928, sebuah momentum yang kelak menorehkan ikrar suci dalam sejarah bangsa. Dari sana, Sumpah Pemuda pun lahir, menandai babak baru perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan yang sejati.
Di langit Oktober 2025, gema Sumpah Pemuda kembali menggema di Gorontalo. Angin yang berhembus membawa bisik sejarah, tentang ikrar suci yang diucap para pemuda pada tahun 1928. Mereka tak hanya bersumpah dengan kata, tetapi dengan nyawa dan cita. Kini, hampir seabad kemudian, semangat itu menjelma dalam wujud lain dalam pena-pena muda yang menari di atas kertas, menulis kisah, menenun makna, dan menjaga bahasa agar tak kehilangan jiwa.
Remaja masa kini tak lagi berperang dengan bambu runcing, melainkan dengan kata-kata. Mereka berjuang di medan literasi, di ruang sunyi tempat huruf-huruf disusun menjadi jembatan antara pikiran dan perasaan. Di sinilah, setiap tulisan menjadi bentuk baru dari perjuangan, meneguhkan bahwa bahasa selain sebagai alat bicara, juga napas yang menyalakan jati diri bangsa.
Menulis bagi pemuda adalah menyalakan kembali api Sumpah Pemuda di dalam dada untuk generasi berikutnya. Setiap kalimat yang lahir dari pena mereka adalah bentuk kesetiaan terhadap bahasa Indonesia yang kita junjung, sekaligus penghormatan pada bahasa daerah yang kita cintai.
Menerjemahkan bahasa Indonesia menjadi bahasa Gorontalo, menunjukkan kesetiaan akan tanah kelahiran. Mencintai daerah dan melestarikan bahasanya. Dalam kata-kata, para penulis muda menyulam kembali benang merah kebudayaan dari Sabang hingga Merauke, dari aksara ke makna, dari hati ke jiwa.
Langit bahasa kita adalah langit yang luas. Di sana, setiap kata yang ditulis pemuda menjadi bintang kecil yang berpendar, menambah cahaya di semesta literasi Indonesia. Selama pena masih menulis, semangat Sumpah Pemuda tak akan pernah padam. Karena di tangan para penulis muda, bahasa terus hidup, tumbuh, dan menyala abadi di langit bangsa.

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..