Oleh: Zulkifli Tanipu, M.A.,Ph.D.
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Banyak guru di wilayah pesisir Teluk Tomini mengeluhkan bahwa anak-anak masih kesulitan membaca meski sudah duduk di kelas awal sekolah dasar. Kondisi ini bukan hanya masalah kemampuan anak atau kurangnya latihan membaca. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membaca juga dipengaruhi cara otak anak memproses huruf, bunyi, dan makna secara bersamaan.
Di daerah pesisir, tantangannya lebih besar karena anak hidup dalam lingkungan multilingual yang lebih dominan tuturan lisan dibanding tulisan. Anak-anak mendengar lebih banyak bahasa daerah dan ragam tutur pesisir, sementara paparan buku dan teks tertulis masih sangat terbatas. Situasi ini membuat proses belajar membaca menjadi lebih berat dibandingkan anak di wilayah perkotaan.
Selain itu, kesulitan membaca juga sangat berkaitan dengan empat proses kognitif utama dalam diri anak. Yang pertama adalah keterbatasan working memory atau kemampuan menerima dan mengolah informasi dalam waktu singkat. Ketika working memory lemah, anak kesulitan menggabungkan huruf menjadi bunyi dan bunyi menjadi kata. Kedua, banyak anak memiliki kelemahan dalam memproses bunyi, sehingga mereka sulit membedakan, menggabungkan, atau mengingat bunyi yang mirip. Kelemahan ini berdampak langsung pada kemampuan mengeja dan melafalkan kata baru. Jika dua proses ini terhambat, anak akan sangat kesulitan mencapai level kemahiran membaca.
Hal ketiga yang menjadi hambatan adalah kesulitan mengingat kembali kosakata dari memori jangka panjang. Pada situasi tertentu, seorang anak bisa saja mengenal kata ketika mendengarnya, tetapi belum tentu mampu mengingat kembali saat membaca. Kondisi ini membuat pemahaman anak menjadi dangkal dan terhambat. Hambatan keempat adalah kemampuan mengatur perhatian saat membaca. Banyak anak yang mudah terdistraksi ketika membaca. Anak yang sulit fokus akan mengalami beban pikiran lebih besar saat berusaha memahami teks. Jika empat hambatan ini muncul bersamaan, proses membaca menjadi sangat melelahkan bagi anak.
Lingkungan sosial-bahasa pesisir Teluk Tomini membuat proses ini semakin menantang. Anak tumbuh dalam budaya tutur yang kuat, di mana cerita, percakapan, dan interaksi lebih banyak terjadi secara lisan. Penggunaan dua atau tiga bahasa dalam kehidupan sehari-hari juga mempengaruhi cara kata, bunyi, dan struktur bahasa tersimpan dalam memori anak. Sementara itu, akses terhadap buku, perpustakaan, atau sudut baca masih sangat terbatas di banyak desa. Akibatnya, anak tidak memiliki cukup kesempatan mengenal pola tulisan, kosakata baru, atau struktur kalimat. Semua ini menambah beban kognitif saat anak mulai belajar membaca secara formal di sekolah.
Argumen-argumen ini menunjukkan bahwa masalah membaca di Teluk Tomini tidak dapat dijelaskan hanya dari sisi metode mengajar. Anak-anak membutuhkan dukungan yang mempertimbangkan cara kerja otak, lingkungan berbahasa, dan pengalaman literasi mereka.
Guru perlu memberikan latihan fonologi, kosakata, dan perhatian bertahap untuk mengurangi beban kognitif anak saat membaca. Sekolah juga perlu memperbanyak bahan bacaan dan ruang literasi untuk memperkaya pengalaman membaca. Kebijakan pendidikan daerah perlu melihat literasi sebagai masalah kognitif dan ekologi, bukan semata kelemahan akademik. Dengan memahami hambatan psikolinguistik ini, intervensi membaca dapat dirancang lebih tepat untuk anak-anak pesisir.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..