Oleh: Zulkifli Tanipu, M.A.,Ph.D.
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Anak-anak di wilayah pesisir Teluk Tomini tumbuh dalam lingkungan sosial yang kaya budaya tutur, interaksi komunitas, dan kearifan lokal. Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi, mereka juga berada di persimpangan penting antara dunia tradisional dan dunia digital. Literasi digital kini tidak lagi menjadi keterampilan tambahan, tetapi menjadi kebutuhan dasar yang menentukan kemampuan anak beradaptasi, belajar, dan bersaing.
Tanpa kemampuan ini, anak-anak pesisir berisiko tertinggal jauh dalam akses informasi, pendidikan, dan kesempatan masa depan. Di banyak desa pesisir, ketimpangan akses digital membuat kemampuan ini belum berkembang optimal. Karena itu, literasi digital harus menjadi bagian dari strategi pendidikan yang serius di Teluk Tomini.
Pada era ketika informasi datang dari berbagai arah, anak-anak perlu belajar bukan hanya cara menggunakan perangkat digital, tetapi juga cara memahami, memilah, dan menilai informasi. Kemampuan ini membantu mereka menghindari misinformasi, konten negatif, serta pengaruh buruk media sosial.
Di sekolah-sekolah pesisir, banyak anak belum terbiasa mencari informasi dari sumber digital yang tepat, sehingga dunia digital justru menjadi ruang konsumsi pasif, bukan ruang belajar aktif. Jika guru dan orang tua tidak membimbing anak memahami cara kerja teknologi, mereka berpotensi menjadi pengguna yang rentan. Literasi digital juga membantu anak memahami tanggung jawab dalam dunia maya, seperti etika berkomunikasi dan keamanan data pribadi.
Selain itu, literasi digital memberikan peluang besar bagi anak pesisir untuk belajar di luar batas wilayah mereka. Anak dapat mengakses video edukasi, platform belajar, kursus gratis, hingga perpustakaan digital yang menyediakan ribuan buku. Bagi anak yang hidup jauh dari perpustakaan fisik atau pusat belajar, kemampuan mengakses sumber digital menjadi jembatan yang sangat penting.
Dengan memanfaatkan teknologi, anak dapat belajar kapan saja dan di mana saja, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Hal ini membuka ruang baru bagi kreativitas dan minat belajar. Jika dimanfaatkan dengan baik, dunia digital dapat memperluas cakrawala anak-anak pesisir lebih jauh daripada yang pernah dibayangkan.
Di sisi lain, peningkatan literasi digital tidak bisa dilepaskan dari konteks wilayah. Banyak desa di Teluk Tomini masih menghadapi keterbatasan jaringan, perangkat, dan sumber bacaan digital. Kondisi ini membuat literasi digital tidak hanya menjadi masalah anak, tetapi juga persoalan infrastruktur. Sekolah perlu menyediakan akses internet dasar, sementara pemerintah daerah dapat memperkuat jaringan dan fasilitas pendukung.
Komunitas lokal juga dapat berperan melalui gerakan literasi digital berbasis desa atau sekolah. Ketika lingkungan mendukung, kemampuan digital anak-anak akan berkembang lebih cepat dan lebih merata. Pada akhirnya, literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan gawai atau membuka aplikasi. Literasi digital adalah kemampuan memahami dunia, berpartisipasi secara aktif, dan mengambil peluang dalam ekosistem digital yang semakin dominan.
Bagi anak-anak pesisir Teluk Tomini, kemampuan ini bisa menjadi tiket menuju masa depan yang lebih baik—baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan sosial. Literasi digital memberi mereka kesempatan untuk setara dengan anak-anak di kota, meskipun tinggal jauh dari pusat teknologi. Dengan memberikan perhatian serius pada literasi digital, kita sedang membangun generasi pesisir yang tidak hanya tangguh secara budaya, tetapi juga kompeten di era global.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..