BAHASA GORONTALO DARI GENERASI KE GENERASI: DARI AKUISISI ALAMI KE PEMBELAJARAN FORMAL

Oleh: Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd.

fsb.ung.ac.idGorontalo – Bahasa Gorontalo dahulu hidup dan tumbuh secara alami di tengah masyarakat. Ia tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga wadah identitas, nilai, dan kebanggaan kolektif. Generasi tua menuturkannya tanpa perlu diajarkan secara formal; pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah di rumah, di pasar, dan di lingkungan sosial.

Anak-anak mendengar, meniru, dan akhirnya menuturkan bahasa Gorontalo sebagai bahasa pertama mereka. Dengan demikian, bahasa ini menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.

Namun, kondisi itu kini mulai bergeser. Di tengah arus modernisasi dan dominasi bahasa Indonesia maupun dialek Gorontalo/Manado, bahasa daerah Gorontalo perlahan kehilangan ruang hidupnya. Generasi muda lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia maupun dialek Gorontalo/Manado bahkan di lingkungan keluarga. Bahasa Gorontalo kini jarang terdengar dalam percakapan anak-anak atau remaja.

Ironisnya, bahasa yang dulu diwariskan secara turun-temurun kini harus “diajarkan” kembali melalui ruang kelas. Fenomena ini menunjukkan pergeseran yang signifikan dari bahasa Gorontalo yang dulunya diperoleh secara alamiah kini justru dipelajari secara akademik.

Perubahan ini menandakan bahwa posisi bahasa Gorontalo mengalami pergeseran status. Dulu, ia adalah bahasa pertama (L1) bagi penuturnya, kini menjadi bahasa kedua (L2). Bahasa pertama yang seharusnya membentuk identitas linguistik dan kultural masyarakat Gorontalo mulai tergantikan oleh bahasa Indonesia, dialek Gorontalo/Manado, bahkan kadang oleh bahasa asing.

Akibatnya, jarak emosional antara generasi muda dengan bahasa daerahnya kian melebar. Bahasa Gorontalo tidak lagi menjadi bahasa keseharian, melainkan sekadar materi pelajaran yang harus dihafalkan dan diujikan.

Upaya pelestarian memang telah dilakukan melalui kurikulum sekolah dan kegiatan budaya. Akan tetapi, pembelajaran formal saja tidak cukup untuk menghidupkan kembali bahasa daerah. Bahasa hanya akan tetap hidup jika digunakan dalam konteks nyata, baik dalam percakapan keluarga, interaksi sosial, maupun kegiatan budaya masyarakat.

Tanpa itu, pembelajaran di sekolah hanya akan menghasilkan kemampuan pasif, yaitu generasi yang tahu tentang bahasa Gorontalo, tetapi tidak tahu menuturkannya.

Sudah saatnya masyarakat Gorontalo, terutama generasi muda, memandang bahasa daerah bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan bagian dari jati diri yang layak dirawat. Orang tua perlu kembali menuturkan bahasa Gorontalo di rumah, lembaga pendidikan harus menjadikannya bagian dari praktik komunikasi, dan media lokal sebaiknya memberi ruang bagi penggunaannya.

Bahasa Gorontalo hanya akan bertahan jika ia kembali menjadi bahasa yang “hidup”, yaitu bahasa yang digunakan, dirasakan, dan diwariskan dengan cinta oleh penuturnya sendiri.

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo