Oleh: Dr. Abid, S.S., MA TESOL
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Mungkin banyak orang yang menganggap kalau belajar IELTS, khususnya Academic Writing, seharusnya dilakukan setelah benar-benar mahir berbahasa Inggris. Padahal, di kelas Writing for Academic Purposes, Jurusan Bahasa Inggris, dengan mahasiswa yang sebagian besar masih berada di level A2, proses belajar justru menjadi jauh lebih menarik karena dimulai dari keterbatasan.
Sebenarnya, belajar IELTS dan Academic Writing bukan hanya latihan menjawab soal atau menulis esai dengan struktur yang benar. Ia adalah upaya membentuk cara berpikir ilmiah dalam bahasa asing, sebuah proses yang menantang sekaligus memerdekakan.
Ketika mahasiswa mencoba menjelaskan ide mereka yang masih sederhana ke dalam bahasa Inggris, sebenarnya mereka sedang melatih diri berpikir secara terstruktur. Mereka belajar bagaimana menyampaikan gagasan dengan jelas, terukur, dan meyakinkan. Tentu saja, ini bukan sekadar kemampuan linguistik, melainkan latihan berpikir kritis dalam konteks yang lebih luas.
Yang sering mengejutkan adalah bagaimana kesulitan berbahasa justru memunculkan kesadaran yang baru. Mahasiswa jadi tahu bahwa menulis bukan sekadar mengisi paragraf yang kosong dengan kalimat kompleks, tapi menyusun logika dan memberi alasan atas setiap klaim yang mereka buat. Dalam banyak kasus, mahasiswa dengan bahasa yang sederhana tapi ide yang kuat justru terdengar lebih “akademik” daripada mereka yang fasih tapi kosong.
Pembelajaran IELTS dan Academic Writing di level dasar ini juga membuka dialog tentang identitas. Siapa kita sebagai calon guru bahasa Inggris yang belajar di konteks non-native? Apakah tujuan kita hanya meniru penutur asli, atau ingin membangun suara akademik sendiri dengan keunikan yang bersifat lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul perlahan, dan di situlah “nilai tambah” yang sering tak terlihat dari kelas bahasa asing.
Maka, alih-alih melihat keterbatasan level A2 sebagai hambatan, saya lebih suka menyebutnya sebagai “ruang eksperimental”. Di ruang ini, mahasiswa belajar bukan hanya tentang bahasa Inggris, tapi juga tentang bagaimana menjadi bagian dari komunitas akademik yang lebih luas, dengan cara mereka sendiri, dari tempat mereka berdiri saat ini.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..