Oleh Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd.
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Pada era informasi dan opini berseliweran dengan cepat seperti saat ini, kemampuan untuk menyampaikan pendapat secara logis, sistematis, dan santun bukan lagi sekadar bakat, melainkan sebuah kebutuhan. Inisiatif SMK N. 1 Gorontalo Utara dalam menyelenggarakan kegiatan “Pengembangan Talenta Bakat dan Minat Peserta Didik dalam Bidang Debat Bahasa Indonesia” adalah langkah visioner yang patut diapresiasi.
Kegiatan ini tidak hanya sekadar mengisi waktu, tetapi merupakan investasi berharga untuk membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21 yang krusial, khususnya dalam membangun budaya literasi yang aktif dan kritis. Pelatihan ini sengaja dirancang dengan penekanan pada aksi nyata.
Teori tentang struktur debat, logika argumentasi, dan teknik penyampaian memang menjadi fondasi, namun esensinya justru terletak pada praktik langsung di ruang latihan. Saat itulah siswa tidak hanya menjadi pendengar pasif, tetapi aktif merasakan tekanan waktu, mengasah spontanitas, dan belajar merangkai kata-kata di bawah tekanan. Mereka diajak untuk berpikir cepat, mendengarkan dengan saksama sanggahan lawan, dan merespons dengan argumen yang berbobot, sebuah simulasi nyata dari dinamika kehidupan sosial dan profesional mereka kelak.
Bagi siswa SMK, yang notabene dipersiapkan untuk masuk ke dunia kerja yang kompetitif, keterampilan ini memiliki nilai strategis yang tinggi. Kemampuan berdebat melatih mereka untuk mempresentasikan ide dengan percaya diri, membela produk atau jasa yang mereka tawarkan, serta melakukan negosiasi secara elegan.
Debat mengajarkan seni persuasi yang didasari data dan logika, bukan emosi. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia tidak hanya dipandang sebagai mata pelajaran, tetapi sebagai toolkit atau perangkat penting untuk bersaing dan unggul di lapangan kerja.
Lebih dari sekadar teknik, debat yang sehat menanamkan nilai-nilai karakter yang luhur. Dalam setiap sesi latihan, siswa belajar untuk menghormati perbedaan pendapat, mengakui kelemahan argumentasi sendiri, dan mengapresiasi keunggulan pemikiran lawan. Ini adalah pendidikan demokrasi yang paling aplikatif.
Mereka memahami bahwa perbedaan bukanlah hal untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dengan kecerdasan dan etika. Dalam ruang debat yang terkontrol, mereka ditempa untuk menjadi pribadi yang rendah hati dalam kemenangan dan lapang dada dalam kekalahan.
Kegiatan di SMK N. 1 Gorontalo Utara ini adalah sebuah terobosan yang perlu diduplikasi. Ia membuktikan bahwa pendidikan vokasi tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga secara serius membangun keterampilan non-teknis (soft skills) yang menjadi pembeda.
Setiap argument yang disusun, setiap sanggahan yang dilontarkan, dan setiap keberanian untuk berbicara di depan umum, adalah batu bata yang menyusun fondasi kepercayaan diri dan daya saing mereka. Melalui debat, kita tidak hanya mencetak tenaga kerja terampil, tetapi juga calon-calon pemimpin masa depan Gorontalo Utara yang kritis, komunikatif, dan berintegritas.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo…