FESTIVAL TUNAS BAHASA IBU: MENYALAKAN KEMBALI SEMANGAT “HULONDALO” DI HATI GENERASI MUDA

Oleh: Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd.

fsb.ung.ac.idGorontalo – Dalam gelombang globalisasi yang kian deras, bahasa daerah seringkali terdampar di tepian, terancam tergerus oleh waktu. Namun, di Provinsi Gorontalo, semangat untuk melestarikan warisan leluhur justru berkobar dengan terang. Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 yang digelar oleh Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo hadir bukan sekadar sebagai gelaran seremonial belaka.

Lebih dari itu, festival ini adalah sebuah gerakan kolektif untuk menyelamatkan khazanah budaya, dengan Lomba Pidato Bahasa Gorontalo atau Tabibo sebagai salah satu magnet utamanya. Melihat langsung antusiasme peserta, kita disadarkan bahwa bahasa ibu ini masih hidup dan berdenyut di jantung generasi penerus.

Sebagai salah seorang juri yang berkesempatan menyaksikan langsung penampilan para peserta, saya merasakan sebuah energi optimisme yang luar biasa. Para siswa SD dan SMP itu tidak hanya sekadar menghafal dan membacakan teks. Mereka berbicara dengan penuh percaya diri, mengekspresikan gagasan, dan menyampaikan pesan moral menggunakan Bahasa Gorontalo.

Ada kebanggaan tersirat di mata mereka ketika melafalkan setiap kata, setiap tahuli (pesan), dan setiap tahuda (nasihat) dalam bahasa nenek moyang mereka. Antusiasme inilah yang menjadi bukti nyata bahwa bahasa Gorontalo bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sebuah bahasa yang terus hidup dan dapat digunakan untuk menyampaikan pemikiran kontemporer.

Pada titik inilah, FTBI 2025 menjawab tantangan terbesar pelestarian bahasa, yaitu regenerasi. Kegiatan ini adalah wujud konkret dari revitalisasi bahasa daerah. Revitalisasi tidak hanya berarti mendokumentasikan kosakata, tetapi juga menciptakan ruang bagi bahasa itu untuk digunakan, diperdebatkan, dan dirayakan.

Lomba Tabibo (pidato dalam bahasa Gorontalo) menjadi wahana yang strategis karena memadukan aspek seni berbahasa, kekuatan argumen, dan nilai-nilai budaya. Dengan berpidato, para tunas bahasa ini tidak menjadi sekadar penonton, tetapi aktor utama yang menghidupkan kembali bahasa Gorontalo di panggung publik.

Dampak dari kegiatan semacam ini bersifat multiaspek. Selain sebagai sarana penyaluran bakat, FTBI menanamkan rasa cinta dan rasa memiliki yang dalam terhadap bahasa Gorontalo. Ketika seorang anak mampu mengekspresikan diri dengan baik dalam bahasa daerahnya, ikatan batinnya dengan identitas sebagai orang Gorontalo akan menguat. Mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa menjadi modern tidak harus meninggalkan yang tradisional. Generasi muda yang melek budaya dan bahasa daerahnya adalah aset bangsa yang tak ternilai, mereka adalah duta-duta yang akan membawa bahasa Gorontalo melintasi zaman.

Oleh karena itu, momentum Festival Tunas Bahasa Ibu 2025 ini tidak boleh berhenti pada satu acara saja. Semangat yang telah ditunjukkan oleh para peserta Tabibo harus menjadi pemantik bagi semua pihak. Dukungan dari keluarga dengan membiasakan percakapan bahasa Gorontalo di rumah, peran sekolah dalam mengintegrasikan muatan lokal yang lebih aplikatif, serta kebijakan pemerintah yang berkelanjutan mutlak diperlukan.

Mari kita jadikan FTBI bukan sebagai garis finis, melainkan titik awal bagi perjalanan panjang melestarikan bahasa Gorontalo. Sebab, melestarikan bahasa berarti menjaga jiwa dan identitas Hulontalo untuk tetap abadi dalam sanubari setiap generasi.

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo