Ketika Kampus Menyapa Desa lewat Program UNG Mengajar, Oleh: Dr. Abid, S.S., MA TESOL

fsb.ung.ac.idGorontalo – Terik mulai menyengat, saat seorang mahasiswa UNG, dengan wajah sedikit gugup namun penuh semangat, mencoba menjelaskan konsep past tense kepada sekelompok siswa SMP yang matanya berbinar ingin tahu. Di sudut lain, beberapa teman sekelompoknya sibuk menata tumpukan buku yang dulunya berserakan di perpustakaan sekolah, sementara yang lain sibuk memotong kertas warna-warni untuk media pembelajaran baru.

Momen-momen sederhana ini, yang terekam dalam program UNG Mengajar sampai di pelosok terjauh di Provinsi Gorontalo, adalah potret nyata dari esensi pendidikan yang melampaui sekat-sekat teori dan buku teks. Bagi saya, sebagai dosen di Jurusan Bahasa Inggris, cerita ini bukan sekadar laporan kegiatan: ia adalah sebuah refleksi tentang bagaimana kita semua bisa belajar dan berkembang bersama.

Program UNG Mengajar ini, dengan segala dinamikanya, adalah panggung nyata bagi mahasiswa untuk menguji dan mengasah ilmu mereka. Di kelas Bahasa Inggris, misalnya, kita sering berkutat dengan tata bahasa yang rumit, fonologi yang detail, atau metode pengajaran inovatif. Namun, semua itu baru benar-benar bisa hidup ketika berhadapan langsung dengan siswa di dalam kelas. Mahasiswa kita dipaksa, dalam artian positif, untuk bisa berpikir lebih keras, lebih kreatif, bagaimana membuat grammar yang sering dianggap sulit menjadi sesuatu yang menyenangkan dan lebih mudah dipahami. Mereka belajar bahwa mengajar bukan hanya tentang “menyampaikan” tapi juga tentang “menghubungkan” materi ajar dan dunia nyata siswa.

Lebih dari sekadar praktik mengajar, program UNG Mengajar ini mendorong mahasiswa untuk berinovasi dalam pengembangan media pembelajaran. Di era digital, visual dan interaksi adalah kata kunci penting. Mahasiswa diharapkan tidak hanya membuat media yang menarik dan bermanfaat, tapi juga yang relevan dengan konteks dan sumber daya sekolah. Mahasiswa mungkin akan membuat kartu bergambar yang menarik untuk kosakata baru, atau papan permainan sederhana yang dibuat dari bahan daur ulang, namun efektif. Bagi mahasiswa Bahasa Inggris, khususnya, ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk menggabungkan kemampuan berbahasa Inggris dengan keterampilan dalam mendesain, menghasilkan alat bantu ajar yang benar-benar bisa “berbicara” kepada siswa.

Kemudian, ada penataan perpustakaan dan pembuatan karya seni. Perpustakaan adalah jantung literasi sebuah sekolah. Ketika mahasiswa membantu merapikan, mengklasifikasikan, bahkan mungkin menambahkan sentuhan dekorasi, mereka sebenarnya sedang menanamkan kecintaan membaca. Mereka membantu menciptakan ruang yang mengundang, yang membuat buku terasa seperti teman, bukan sekadar pajangan di rak. Sementara itu, pembuatan karya seni membuka ruang bagi siswa untuk berekspresi, mengasah kreativitas, dan menghargai keindahan.

Pada akhirnya, Program UNG Mengajar adalah sebuah cerminan dari semangat Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Ini bukan cuma soal mengumpulkan SKS, tapi tentang memberikan pengalaman nyata yang membentuk mahasiswa menjadi pribadi yang utuh, yang siap beradaptasi dan berkontribusi bagi masyarakat. Melalui program ini kita diingatkan bahwa pendidikan sejati melampaui dinding kelas. Pendidikan adalah tentang menumbuhkan, memberdayakan, dan memberi inspirasi. (Dr. Abid, S.S., MA TESOL)

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..