Oleh: Zulkifli Tanipu, M.A.,Ph.D.
fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Bahasa, pikiran, dan otak adalah komponen yang selalu bekerja bersama dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran memberi gagasan, otak memproses, dan bahasa mengartikulasikan. Hubungan ini menjadi pusat perhatian psikolinguistik karena menunjukkan bagaimana bahasa bukan sekadar simbol, tetapi hasil kerja kognitif yang kompleks. Tanpa keterlibatan otak, bahasa tidak mungkin diproduksi. Tanpa bahasa, pikiran sulit tersampaikan.
Proses mental yang melibatkan bahasa selalu terkait dengan aktivitas otak. Saat kita membaca, otak mengubah simbol grafis menjadi makna. Saat kita berbicara, otak memilih kata, menyusun tata bahasa, dan mengontrol produksi suara. Semua proses ini berjalan sangat cepat sehingga sering kali tidak disadari. Psikolinguistik mempelajari detail proses ini untuk menjelaskan hubungan bahasa dan pikiran.
Bahasa juga memengaruhi cara manusia menyusun pikirannya. Seseorang yang fasih dalam lebih dari satu bahasa cenderung memiliki fleksibilitas kognitif lebih tinggi. Otak mereka terbiasa berpindah antara sistem simbol yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa bilingualisme dapat meningkatkan fungsi eksekutif otak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan bahasa dan pikiran bukan hanya teoritis, tetapi terbukti dalam praktik.
Gangguan bahasa akibat kerusakan otak juga memperjelas korelasi ini. Afasia, disleksia, atau gagap adalah contoh nyata bagaimana hambatan neurologis memengaruhi bahasa. Gangguan ini membuat produksi dan pemahaman bahasa menjadi terhambat. Dari sini kita melihat bahwa otak merupakan pusat utama pengendali bahasa. Tanpa fungsi otak yang sehat, bahasa tidak dapat berjalan optimal.
Memahami keterkaitan bahasa, pikiran, dan otak adalah hal penting bagi pendidik. Guru bahasa dapat lebih bijak dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan kognitif siswa. Mereka juga dapat memahami tantangan yang dihadapi siswa dengan hambatan tertentu. Psikolinguistik memberi landasan ilmiah untuk hal ini. Dengan demikian, pendidikan bahasa dapat berlangsung lebih manusiawi dan efektif.
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..