Membangun Identitas dan Ketahanan Kognitif Anak melalui Kegiatan Storytelling/Pengabdian Kolaboratif Dosen dan Mahasiswa

fsb.ung.ac.idGorontalo – Siapa yang tidak suka cerita? Sejak kita kecil, dongeng adalah sahabat imajinasi yang tak lekang oleh waktu. Namun, di balik alunan kata-kata yang membuai, storytelling menyimpan kekuatan besar yang sering kali luput dari perhatian kita.

Beberapa waktu yang lalu, mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris berkesempatan menghidupkan kembali cerita rakyat Gorontalo melalui kegiatan storytelling di hadapan siswa-siswa sekolah dasar. Sebagai dosen pembimbing, saya bukan hanya melihat keceriaan di mata anak-anak, tetapi juga manfaat mendalam yang mungkin jarang kita diskusikan.

Bukan rahasia lagi bahwa storytelling cukup efektif untuk meningkatkan minat baca, memperkaya kosakata, atau bahkan mengasah kemampuan berbahasa. Namun, ada satu manfaat yang tak kalah penting, khususnya ketika cerita rakyat lokal menjadi mediumnya: pembentukan identitas dan daya tahan kognitif pada anak-anak.

Bayangkan, siswa-siswa SD di Gorontalo yang sehari-hari mungkin lebih akrab dengan narasi dari gawai, tiba-tiba diajak menyelami kisah-kisah leluhur mereka. Melalui storytelling, mereka tidak hanya belajar bahasa Inggris dan menyimak pesan cerita yang disampaikan, tetapi juga menyerap nilai-nilai luhur, adat istiadat, serta kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat. Ini adalah proses “re-identifikasi” yang halus, tapi kuat. Anak-anak mulai melihat cerminan diri mereka dalam karakter-karakter lokal, merasa bangga dengan akar budaya mereka, dan secara tidak langsung membangun fondasi identitas diri yang kokoh di tengah-tengah gempuran budaya asing.

Selain itu, storytelling yang melibatkan narasi kompleks dan karakter beragam secara tidak langsung melatih daya tahan kognitif anak. Di era serba cepat seperti sekarang ini, anak-anak cenderung terbiasa dengan informasi instan dan potongan-potongan konten pendek di media sosial. Storytelling menuntut mereka untuk bisa fokus dalam jangka waktu yang lebih lama, mengikuti alur cerita, mengingat detail, dan menghubungkan sebab-akibat. Proses mental ini memperkuat kemampuan konsentrasi dan memori jangka panjang yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar dan pemecahan masalah di kehidupan sehari hari.

Maka, ketika kita melihat anak anak menyimak cerita tentang “Raja Gorontalo” atau “Danau Limboto”, kita tidak hanya menyaksikan sebuah kegiatan pengabdian. Kita sedang menyaksikan sebuah investasi emas pada generasi muda. (Dr. Abid, S.S, MA TESOL)

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..