fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Fiksi sering dianggap sekadar cerita rekaan yang lahir dari imajinasi penulis. Namun, siapa sangka bahwa di balik alur yang seru dan tokoh-tokoh yang memikat, fiksi menyimpan cermin kehidupan yang jernih? Ketika kita membaca novel, cerpen, atau dongeng, sebenarnya kita sedang menelusuri realitas – bukan secara kasatmata, tetapi lewat sudut pandang yang lebih dalam dan reflektif. Fiksi memungkinkan kita untuk memahami manusia dan dunia tanpa harus mengalaminya langsung.
Karya fiksi kerap menjadi jendela untuk melihat isu-isu sosial, politik, budaya, bahkan psikologis. Dalam cerita-cerita itulah, konflik antarkelas, perjuangan minoritas, keresahan batin, atau bahkan cinta yang universal bisa hadir dengan kuat dan membekas. Tak jarang, fiksi justru menjadi alat kritik sosial yang lebih tajam dibandingkan laporan berita. Misalnya, melalui tokoh yang hidup dalam kemiskinan, pembaca diajak merasakan getirnya ketimpangan tanpa harus dibanjiri data dan angka.
Mengapa penting mengkaji fiksi? Karena dari sanalah kita belajar empati, memahami keberagaman manusia, serta menyadari kompleksitas kehidupan. Dengan membaca fiksi, kita tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga menemukan makna. Ketika seorang tokoh dalam cerita menghadapi dilema, kita ikut merenung tentang nilai-nilai moral, keputusan, dan konsekuensinya. Fiksi memperluas cakrawala batin kita, mengasah kepekaan terhadap sesama.
Di era digital yang serba cepat ini, mengkaji fiksi bisa menjadi cara untuk melambat sejenak dan kembali memahami dunia secara lebih mendalam. Lewat kata-kata, penulis fiksi menawarkan pengalaman batin, membangun empati, dan memperkaya perspektif. Jadi, lain kali ketika Anda membuka sebuah buku cerita, ingatlah bahwa Anda bukan hanya membaca hiburan, tapi juga sedang menyelami realitas dengan cara yang unik dan penuh makna. (Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd, Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo)