fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Setiap 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Namun, perayaan ini sering kali tak lebih dari seremoni linguistik yang kehilangan makna sosial dan kekuatan performatif. Sebagai simbol kebangsaan, Pancasila telah menjadi teks beku (frozen text): dikutip, diulang, dan disuarakan, tetapi tidak lagi dihidupi. Dalam kajian ilmu bahasa, ini disebut sebagai krisis semiotik sekaligus ideologis—ketika tanda kehilangan makna rujukannya, dan bahasa tidak lagi membentuk realitas sosial, melainkan hanya melayani citra.
Di tengah gempuran modernitas dan pragmatisme politik yang semakin menajam, Indonesia menghadapi krisis fundamental: krisis keteladanan. Krisis ini bukan sekadar ketiadaan sosok panutan di ruang publik, melainkan runtuhnya integritas serta performa nilai-nilai dasar bangsa—khususnya Pancasila—dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila bukanlah dokumen normatif semata, melainkan pedoman hidup yang menuntut penjelmaan nilai-nilainya dalam tindakan nyata para pemimpin. Namun dalam praktik politik hari ini, nilai-nilai luhur seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan musyawarah lebih sering berhenti pada seremoni wacana. Keteladanan, sebagai perwujudan praksis Pancasila, tampak memudar—digantikan oleh retorika kosong.
Dalam perspektif sosiolinguistik, Pancasila semestinya menjadi bahasa nilai: sistem simbol yang mengarahkan orientasi moral dan tindakan sosial warga negara, terutama para pemimpin. Akan tetapi, nilai-nilai luhur seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan musyawarah kini direduksi menjadi formula retoris tanpa kekuatan transformatif. Dalam konsep speech act Austin (1962), bahasa tidak hanya berfungsi menyatakan sesuatu (constative), tetapi juga melakukan sesuatu (performative). Ketika pemimpin hanya mengucapkan Pancasila tanpa menghidupinya dalam tindakan, yang terjadi adalah failure of performativity—tindak tutur yang gagal.
Marks (2023) dalam karyanya “Trust in crises and crises of trust” menekankan bahwa dalam situasi krisis kepercayaan publik, tindakan tutur politik harus mempertimbangkan “optik kredibilitas.” Artinya, pesan politik tidak cukup terdengar benar, tetapi juga harus terasa tulus dan layak dipercaya. Hal ini menuntut pemimpin tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi menampilkan integritas yang konsisten. Di sinilah letak pentingnya keteladanan sebagai manifestasi perlokusioner dari ujaran politis.
Kegagalan ini bukan semata problem moral, tetapi juga krisis epistemik. Dalam bahasa filsafat bahasa, kita menyaksikan degradasi makna antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Pancasila menjadi slogan kosong yang menjauh dari praksis. Pemimpin yang seharusnya lahir dari rahim ideologis Pancasila kini lebih banyak tampil sebagai aktor dalam panggung politik transaksional—bukan sebagai teladan nilai. Fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa Pancasila telah digeser dari domain praksis ke domain teatrikal.
Data empiris menguatkan keprihatinan ini. Transparency International (2024) mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34, tertinggal dari Malaysia (50) dan Timor Leste (43). Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan kepercayaan publik terhadap lembaga politik berada di bawah 30 persen. Dalam kerangka analisis wacana, ini menunjukkan runtuhnya kredibilitas ujaran elite politik: ujaran tanpa etos, tanpa logos, tanpa pathos.
Lebih dari itu, kita sedang menyaksikan kelumpuhan rahim ideologis. Pancasila sebagai sumber nilai tak lagi mampu melahirkan pemimpin bermoral, karena telah dikebiri oleh sistem rekrutmen politik yang transaksional dan eksklusif. Pendidikan politik yang miskin literasi ideologis, dominasi oligarki dalam ruang publik, serta budaya patronase mempersempit ruang bagi lahirnya kepemimpinan teladan. Seperti diuraikan oleh Vedi Hadiz, demokrasi kita telah diretas oleh kekuatan lama dalam kemasan baru—populisme elitis yang sarat pencitraan namun miskin substansi.
Kita sadar bahwa bahasa tak pernah netral. Ia bisa menjadi alat kuasa, tapi juga alat kritik dan perubahan. Jika jalur kekuasaan (seperti partai politik) telah gagal melahirkan pemimpin bermoral, maka publik harus mengambil peran sebagai rahim alternatif. Literasi ideologis dan kesadaran kritis harus dibangkitkan—dari ruang keluarga hingga ruang digital. Ruang media, ruang kelas, dan ruang komunitas harus menjadi ladang bagi kelahiran ulang makna Pancasila—bukan sebagai teks mati, tetapi sebagai nilai hidup.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa tugas kita adalah membumikan Pancasila. Namun, sebelum membumi, ia harus dihidupkan kembali sebagai bahasa nilai, sebagai praksis etik, dan sebagai wacana kritis. Pancasila bukan milik elite; ia milik seluruh rakyat. Dan karena itu, kita harus berani merebut kembali tafsirnya—melampaui retorika, menuju praksis.
Sebab rahim yang kini ada di pusat kekuasaan, terlalu lama tak melahirkan apa-apa—kecuali skandal dan sandiwara. (Dr. Suleman Bouti, M.Hum)
Penulis adalah Linguist dan Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo…