fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Pernahkah Anda mendengar nama Panipi? Mungkin tidak banyak yang tahu, tetapi bagi masyarakat Gorontalo, nama itu menyimpan kisah heroik penuh semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Panipi bukan sekadar nama, ia adalah sosok legenda dalam epik lisan yang diwariskan turun-temurun. Kisahnya, yang dikenal sebagai Epik Perang Panipi, menjadi saksi penderitaan sekaligus keberanian rakyat Gorontalo dalam menghadapi masa kelam penjajahan.
Melalui epik ini, kita diajak kembali ke masa saat rakyat Gorontalo hidup dalam tekanan. Mereka dipaksa membayar pajak, bekerja tanpa upah, bahkan anak-anak pun turut menanggung derita. Tidak hanya rakyat jelata, para pemuka adat dan bangsawan pun ikut merasakan himpitan hidup akibat kesewenang-wenangan Belanda. Penderitaan ini diceritakan dengan sangat menyayat hati dalam syair-syair lisan tanggomo, bentuk sastra lisan Gorontalo yang memadukan puisi dan narasi sejarah.
Kemiskinan bukan lagi kondisi ekonomi semata, melainkan hasil dari sistem yang menindas. Dalam epik Panipi, tergambar bagaimana rakyat bekerja sekuat tenaga demi bertahan hidup, tetapi hasilnya dirampas oleh penjajah. Gizi buruk, kelaparan, bahkan kematian, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak tumbuh dalam tubuh yang kurus kering, sementara orang dewasa bekerja tanpa henti meski tubuh sudah tak kuat lagi berdiri.
Lebih pilu lagi, rakyat Gorontalo dipaksa melakukan kerja rodi. Tua, muda, lelaki, perempuan, semuanya harus tunduk di bawah tekanan Belanda. Bekerja di bawah todongan senjata, diawasi, dan bila dianggap lalai, akan dihukum secara fisik. Dalam situasi seperti inilah semangat pemberontakan mulai tumbuh, dan Panipi hadir sebagai tokoh pemersatu yang mengobarkan semangat melawan.
Perlawanan pun pecah. Di bawah komando Panipi, rakyat Gorontalo mengangkat senjata—meski seadanya—untuk melawan kekuatan militer Belanda. Benteng Batuda’a menjadi saksi perjuangan rakyat yang bertahan melindungi tanah kelahirannya. Panipi, dengan kesaktian dan keberaniannya, berhasil membuat Belanda kalang kabut. Dikisahkan, peluru dan senjata tajam tak mampu melukai tubuh para jawara Gorontalo.
Namun, ketika perang tak kunjung membawa kemenangan bagi Belanda, mereka pun menggunakan cara licik: taktik adu domba. Belanda menghadirkan petarung dari kalangan Gorontalo sendiri untuk melawan Panipi. Pertarungan satu lawan satu terjadi. Keduanya tangguh dan sama-sama kebal. Hingga akhirnya, saat matahari tenggelam, keduanya saling menusuk dan gugur di medan laga. Panipi pun gugur, tetapi semangatnya tak pernah mati.
Kisah Panipi bukan hanya legenda, melainkan cermin perlawanan atas ketidakadilan. Di balik kisah puitisnya, tersimpan potret penderitaan, keberanian, dan cinta tanah air yang luar biasa. Epik ini adalah warisan budaya yang patut dirawat, bukan sekadar untuk dikenang, tapi juga untuk menyalakan kembali semangat patriotisme di tengah generasi muda kita hari ini. (Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd, Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo)
(Tulisan ini disarikan dari hasil penelitian penulis pada 2022 dengan judul “Perang Panipi, Epik Memori Masa Kolonial Di Gorontalo”)