fsb.ung.ac.id, Gorontalo – Gorontalo menyimpan kekayaan sastra lisan yang beragam, setidaknya ada 15 ragam yang terbagi dalam enam bentuk, mulai dari puisi adat seperti tuja’i dan palebohu, hingga prosa seperti wulito dan wungguli. Namun, nasib sastra lisan ini kini seperti pisau bermata dua—ada yang masih bertahan, seperti tuja’i dan dikili, sementara lainnya seperti palebohu dan tanggomo mulai langka, bahkan beberapa seperti bungga dan wulito sudah punah.
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya warisan budaya ini di era modern. Tanpa upaya pelestarian, bukan tidak mungkin ragam sastra lisan lainnya akan menyusul hilang ditelan zaman. Eksistensi sastra lisan sangat bergantung pada para pencerita atau penuturnya. Sebab, sastra lisan diwariskan secara turun-temurun melalui tuturan lisan, bukan tulisan. Jika jumlah penceritanya banyak, sastra lisan akan bertahan; sebaliknya, jika tidak ada regenerasi, ia akan punah bersama meninggalnya para penutur terakhir.
Hal ini bukan sekadar persoalan kehilangan karya sastra, melainkan juga ancaman terhadap identitas budaya Gorontalo. Seperti dikatakan Didipu (2013), sastra daerah adalah cerminan kebudayaan suatu wilayah. Artinya, punahnya sastra lisan berarti terkikisnya salah satu pilar budaya Gorontalo.
Menjadi pencerita/penutur/pelantun sastra lisan bukanlah hal mudah. Dibutuhkan bakat, latihan intensif, dan daya ingat yang kuat untuk menghafal lirik, irama, serta mahir berimprovisasi. Seorang pencerita tidak hanya sekadar menyampaikan, tetapi juga harus bisa berperan sebagai performer dan composer, menciptakan variasi tanpa kehilangan esensinya.
Tantangan inilah yang membuat regenerasi pencerita sastra lisan kian sulit. Tanpa figur-figur muda yang mau mempelajari dan mewarisi tradisi ini, sastra lisan Gorontalo bisa benar-benar lenyap.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Dokumentasi menjadi langkah krusial. Dengan mencatat, merekam, dan mempelajari sastra lisan, kita bisa menyelamatkannya dari kepunahan.
Selain itu, mengenang jasa para pencerita/penutur/pelantun seperti menghidupkan kembali semangat mereka. Nama-nama seperti Manuli (pencipta/plantun Tanggomo), Risno Ahaya (pencipta/pelantun lohidu), A.W. Lihu (pelantun tuja’i), dan para penutur sastra lisan Gorontalo lainnya patut dikenang sebagai pahlawan budaya.
Tugas kita kini adalah memastikan bahwa warisan mereka tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi tetap hidup dalam praktik dan ingatan generasi mendatang. Sebab, melestarikan sastra lisan Gorontalo berarti menjaga identitas dan kebanggaan daerah ini. (Dr. Herman Didipu, S.Pd., M.Pd, Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo)
(Disarikan dari buku penulis yang berjudul “Ensiklopedia Tokoh Sastra Daerah Gorontalo” yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo tahun 2020)