Sufi Baca-Tulis, Oleh: Argariawan Tamsil, M.Pd.

fsb.ung.ac.idGorontalo – Derasnya arus informasi di era teknologi membuat kita hidup dalam pusaran gelombang informasi yang nyaris tak bertepi. Berita datang silih berganti, tulisan berseliweran di ruang digital tanpa henti dan kita (lintas antargenerasi) sering terjebak dalam keriuhan yang membuat hati kehilangan ruang keheningan. Kita membaca begitu banyak dan menulis begitu sering, tetapi jarang benar-benar memahami ruh dari apa yang telah dibaca dan ditulis. Di tengah riuh seperti inilah saya merasa kita perlu menjadi sufi baca-tulis, yaitu manusia yang menemukan makna dalam kesunyian.

Menjadi sufi baca-tulis berarti mengajak diri untuk berdialog dengan hati. Membaca tidak hanya sekadar melibatkan mata, tetapi juga melibatkan kesadaran yang utuh. Menulis tidak hanya menggerakkan jari, tetapi juga menghadirkan jiwa. Sebab sejatinya, membaca bukan hanya sekadar aktivitas menghafal atau menelan informasi, melainkan perjalanan menyelami makna dan kehidupan.

Dalam hening dan sunyi, aktivitas membaca dan menulis menjadi proses jelajah makna dan dari situlah kita akan menemukan ruhnya. Maka dengan menjadi sufi baca-tulis, kita perlahan-lahan menyingkap tirai intelektualitas menjadi lebih baik.

Seringkali kita menilai sesuatu dan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu hanya dari permukaan saja, sebut saja semisal berita bombastis, headline, takarir, video pendek, dan potongan kalimat yang viral. Pada titik inilah kita kehilangan apa yang disebut oleh para sufi sebagai tafakkur (perenungan). Perenungan menjadi inti dari kesadaran sufistik, dengan bertafakkur artinya kita memberi jeda dan kesempatan pada akal dan hati untuk mendialogkan makna yang didapatkan.

Para sufi memandang bahwa setiap bahasa adalah bagian dari perjalanan jiwa, di dalamnya mengandung kesadaran dan tanggung jawab. Kata yang lahir dari hati yang riuh hanya akan menambah kekosongan nilai, sedangkan kata yang lahir dari keheningan akan lebih memberi nilai. Dalam keheningan seperti inilah kita mengalami apa yang disebut oleh Paul Ricoeur sebagai proses hermeneutika diri, yaitu suatu proses memahami bahasa yang pada akhirnya membawa kepada pemahaman diri sendiri. Kita membaca bukan untuk sekadar menghafal, melainkan untuk ikut menghayati. Oleh karena itu, menjadi sufi baca-tulis berarti menjaga setiap kata agar tidak kehilangan nilai.

Hari ini tentu kita tidak kekurangan pengetahuan dan segala informasinya, tetapi kekurangan ruang keheningan. Boleh jadi kita tahu banyak hal, tetapi hanya sedikit yang benar-benar kita pahami. Imam Al Ghazali “harus” menempuh perjalanan sunyi sebelum melahirkan karya monumentalnya seperti Ihya Ulumuddin. Menjadi sufi baca-tulis bukan berarti menjauh dari dunia digital melainkan hadir di dalamnya dengan kesadaran penuh. Kesunyian di sini adalah disiplin jiwa di tengah bisingnya dunia. Dalam keheningan itulah kebenaran dan kearifan akan menyatu.

Dalam konteks akademik, budaya kampus pun perlu memberi ruang perenungan intelektual sehingga nantinya kampus tidak hanya menjadi “pabrik ilmu pengetahuan”, tetapi juga menjadi “taman perenungan ilmu pengetahuan”. Ilmu tanpa kesadaran hanyalah data dan literasi tanpa tafakkur hanya akan melahirkan pengetahuan tanpa jiwa.

Akhir kata, menjadi sufi baca-tulis di zaman ini adalah bentuk perlawanan paling halus terhadap kebisingan ruang digital. Kita tidak menolak teknologi, tetapi menegakkan kesadaran individual hingga menjadi kesadaran sosial. Kita tidak menentang informasi, tetapi memilih mencerna dengan keheningan. Sebab sebagaimana dunia sufistik, kebenaran tidak selalu berteriak, tetapi berbisik dalam diam dan hanya akan terdengar oleh hati.

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo