Kepada yang membaca, dan kepada para jiwa yang sedang tertunduk dalam duka,
Hari ini, saya ingin menuliskan pikiran hati saya, bukan sebagai dosen, bukan sebagai alumni universitas, tapi sebagai seorang manusia yang tengah diguncang rasa kehilangan—bahkan untuk mereka yang belum pernah saya temui secara langsung.
Saya diperlihatkan video tentang peristiwa tragis yang menimpa adik-adik mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo yang sedang menjalani KKN di Bone Bolango. Namun, saya tak sanggup menontonnya hingga tuntas. Sebab sebagai seseorang yang pernah menyatu dengan alam semasa kuliah—mendaki bukit, melintasi sungai, tidur di tenda di tengah hujan dan dingin malam—saya bisa membayangkan, dengan sangat jelas dan menyakitkan, apa yang mungkin mereka alami.
Air bah yang tiba-tiba datang tak hanya menyeret tubuh mereka, tapi juga menghantamkan semangat, harapan, dan cita-cita itu pada kerasnya bebatuan dan rimba sungai. Tubuh saya menggigil. Air mata ini menetes perlahan. Duka ini terasa begitu nyata, dan kesedihan ini tidak mengenal jarak, tidak mengenal nama. Mereka mungkin bukan anak kita, bukan kerabat kita. Tapi mereka adalah kita—mahasiswa, pejuang ilmu, penjelajah kenyataan, generasi yang tumbuh bersama harapan negeri.
Lalu saya bertanya dalam hati,
“Apa arti semua ini buat kita?”
Di tengah keheningan, muncul rasa lain: bangga. Maaf jika saya menyebutnya demikian, namun saya tak bisa menyebut mereka hanya sebagai “mahasiswa”. Bagi saya, mereka adalah pembawa obor pengetahuan. Mereka adalah gambaran paling tulus dari semangat belajar yang tak kenal batas dan tidak memilih zona nyaman.
Anak-anak ini, kini saya menyebut mereka teladan. Mereka adalah wajah dari mahasiswa Geologi yang kita banggakan: penuh dedikasi, cerdas, dan tangguh menerobos batas-batas kebodohan yang kita lawan bersama dalam dunia akademik.
Kemarin, ketika saya memberi kuliah kepada teman-teman seangkatan mereka, saya menyampaikan:
“Belajar bukan sekadar hadir di kelas atau membaca buku. Belajar adalah kesiapan untuk menghadapi risiko, keberanian untuk menantang kenyataan, dan ketulusan untuk menyerahkan hasil akhir kepada Sang Pencipta.”
Hari ini, kami tidak hanya berduka, kami juga belajar.
Belajar dari pengabdian, dari keteguhan, dari keberanian mereka.
Selamat jalan, Sri Magfirah Mamonto; Alfateha Ahdania Ahmadi; Regina Malaka.
Kami bangga padamu. Kami belajar darimu. Kami mencintai kalian meski tak pernah sempat saling menyapa.
Tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, apalagi yang ditempuh dalam semangat ilmu dan pengabdian.
Allahummaghfirlahunna warhamhunna.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Hormat dan cinta, dari salah satu yang belajar dari kalian. (Dr. Suleman Bouti, S.Pd.,M.Hum)
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo..